Selasa, 13 Januari 2009

Sita jaminan

Dari HukumPedia



Jaminan berupa uang atau barang yang dimintakan oleh penggugat kepada pengadilan untuk memastikan agar tuntutan penggugat terhadap tergugat dapat dilaksanakan/dieksekusi kalau pengadilan mengabulkan tuntutan tersebut. Penyitaan dalam sita jaminan bukan dimaksudkan untuk melelang, atau menjual barang yang disita , namun hanya disimpan (conserveer) oleh pengadilan dan tidak boleh dialihkan atau dijual oleh termohon/tergugat. Dengan adanya penyitaan, tergugat kehilangan kewenangannya untuk menguasai barang, sehingga seluruh tindakan tergugat untuk mengasingkan, atau mengalihkan barang-barang yang dikenakan sita tersebut adalah tidak sah dan merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan pidana pasal 231dan 232 KUHP.


Di negara yang menganut tradisi common law, sita jaminan (security for costs) lebih sering diminta oleh tergugat. Artinya, jaminan berupa uang atau aset lain yang diserahkan oleh pengugat ke pengadilan yang dapat dipakai untuk mengganti biaya yang diderita oleh termohon jika ternyata permohonan tersebut tidak beralasan. Di Indonesia, instrumen ini dipakai dalam permohonan penetapan sementara.


Daftar isi

[sembunyikan]

Jenis-jenis Sita Jaminan

Ada banyak jenis sita jaminan, namun secara umum dikenal dua jenis:

a. Sita jaminan terhadap harta benda milik tergugat (conservatoir beslag)

Sita ini dilakukan terhadap harta benda milik debitur. Kata conservatoir sendiri berasal dari conserveren yang berarti menyimpan, dan conservatoir beslag menyimpan hak seseorang. Maksud sita jaminan ini adalah agar terdapat suatu barang tertentu yang nantinya dapat dieksekusi sebagai pelunasan utang tergugat.

b. Sita jaminan terhadap harta benda milik penggugat sendiri

Berbeda dari conservatoire beslag, dikenal juga sita terhadap harta benda penggugat/pemohon sendiri yang ada dalam kekuasaan orang lain (termohon/tergugat). Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon.

Sita ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: (i) sita revindicatoir (Pasal 226 HIR, 260 Rbg) dan (ii) sita marital (Pasal 823-823j Rv). Revindicatoir berarti mendapatkan, dan kata sita revindicatoir mengandung pengertian menyita untuk mendapatkan kembali (barang yang memang miliknya).

Disamping kedua jenis sita tersebut, masih juga dikenal beberapa jenis/varian sita jaminan lain, misalnya (i) Sita conservatoir terhadap kreditur ; (ii) sita gadai atau pandbeslag ; (iii) sita conservatoir atas barang-barang debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia ; sita conservatoir atas pesawat terbang dan sita jaminan pada kepailitan.

[nyatakan bahwa yang relevan dan akan di bahas di sini adalah revindicatoire dan conservatoire beslag]


Syarat Pengajuan Sita Jaminan

Sesuai dengan Pasal 226 HIR , untuk mengajukan permohonan sita revindicatoir, pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada dugaan yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau melarikan barang yang bersangkutan selama proses persidangan.

Sedangkan pada sita jaminan conservatoir, sesuai Pasal 227 HIR , elemen dugaan yang beralasan, merupakan dasar pembenar utama dalam pemberian sita tersebut. Apabila penggugat tidak memiliki bukti kuat, maka sita jaminan tidak akan diberikan. Syarat ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan agar tidak diadakan penyitaan secara sembarangan, yang akhirnya hanya merupakan tindakan sia-sia yang tidak mengenai sasaran (vexatoir). Sehingga dalam sita ini, tersita harus didengar untuk mengetahui kebenaran dugaan tersebut. [Terminologi adanya dugaan beralasan menyiratkan tidak diperlukannya acara pembuktian menurut undang-undang.]

Buku II Mahkamah Agung mengenai Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan mencoba mendifisikan [apa?] secara lebih konkrit. Untuk mengabulkan sita conservatoir, harus ada sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat. Disini dapat disimpulkan bahwa permohonan pengajuan sita jaminan lebih diarahkan [kepada sedang terjadinya proses pengasingan barang – ada yang hilang].

Pada proses kepailitan, permohonan sita jaminan hanya dapat dikabulkan, apabila hal tersebut diperlukan guna melindungi kepentingan kreditur, dan untuk itu Pengadilan dapat menentukan penyerahan suatu jaminan dalam jumlah yang dianggap wajar oleh Pengadilan.


Pemohon Sita Jaminan

Pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan sita adalah:
1. untuk permohon sita revindicatoir:
a. pemilik benda bergerak yang barangnya berada di tangan orang lain ;
b. pemegang hak reklame
2. kreditur, bagi permohon sita conservatoir ;
3. istri bagi pemohon sita marital.


Obyek Permohonan

Obyek permohonan tergantung kepada jenis sita yang dimintakan, pada sita revindicatoir, maka yang dapat disita adalah benda bergerak yang merupakan milik pemohon (atau pemilik hak reklame). Pemohon sita revindicatoir tidak dapat memohon sita dijatuhkan terhadap benda tetap milik pemohon, karena pengalihan atau pengasingan benda tetap tidak semudah pengalihan benda bergerak, sehingga kecil sekali kemungkinan terjadi diasingkannya barang tetap tersebut. Pasal 226 (2) HIR menjelaskan bahwa dalam permohonan sita revindicatoir harus dijelaskan secara lengkap dan nyata, barang-barang yang dimintakan sita tersebut.

Sementara itu, pada sita conservatoir, yang dapat menjadi obyek sita adalah:
1. barang bergerak milik debitur
2. barang tetap milik debitur, dan
3. barang bergerak milik debitur yang berada di tangan orang lain (pihak ketiga).

Penyitaan juga hanya dilakukan terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi sengketa), sehingga nilai sita seimbang dengan yang digugat. Perlu dicatat juga bahwa Mahkamah Agung pernah membatalkan sita jaminan karena nilai barang yang disita melebihi nilai utang yang menjadi pokok perkara.

Sedikit berbeda, sita jaminan pada kepailitan dapat meliputi seluruh maupun sebagian harta dedbitur. Penyitaan juga dilakukan terlebih dulu atas benda-bergerak, dan baru diteruskan ke benda-benda tidak bergerak, jika menurut perkiraan nilai benda-benda tersebut tidak akan mencukupi.


Proses Permohonan Sita


a. Permohonan

Permohonan sita jaminan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pihak yang memegang barang obyek sita jaminan. Pasal-pasal 226 (1) dan 227(1) HIR tidak mengatur rinci mengenai prosedur, dan batasan-batasan formil dari persyaratan pengajuan permohonan sita jaminan. Namun hal ini bisa ditelusuri dari ketentuan lainnya dalam HIR. Dari ketentuan Pasal 226 (4) dan 227 (1) terlihat bahwa pada hari pertama persidangan akan sangat menentukan sah atau tidaknya permohonan sita jaminan, sehingga dapat disimpulkan bahwa permohonan sita tentunya diajukan sebelum hari pertama sidang, sehingga apabila pada hari pertama gugatan diterima, maka penyitaan akan dilanjutkan, sebaliknya, apabila gugatan ditolak, maka sita akan diangkat.

Memang dalam prakteknya, permohonan sita jaminan umumnya diajukan bersama-sama dengan pengajuan gugatan ke pengadilan. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan permohonan sita diajukan pada sebelum atau pada pertengahan proses pemeriksaan perkara.

Namun pada kenyataannya, Pasal 227 (1) HIR juga memberikan kemungkinan bahwa sita jaminan dapat dimohonkan sesudah adanya putusan tapi putusan tersebut belum dapat dijalankan. Contoh permohonan ini adalah dalam hal telah dijatuhkan putusan verstek, dimana terhadap putusan verstek tersebut tergugat masih mengajukan perlawanan, atau dalam hal telah dijatuhkan putusan contradictoir, sedangkan yang bersangkutan mengajukan permohonan banding.

HIR tidak mengatur apakah sita jaminan juga dapat dimohonkan pada saat perkara dalam tahap banding, sehingga seringkali menimbulkan silang pendapat. Retnowulan Sutantio, S.H. berpendapat bahwa dalam hal ini dapat dilakukan dengan mengajukan surat permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang akan meneruskan surat tersebut kepada Hakim Tinggi atau Majelis Pengadilan Tinggi yang memeriksa perkara tersebut. Dalam hal penyitaan dianggap mendesak, maka Pengadilan Tinggi dengan penetapan dapat memerintahkan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk melaksanakan sita tersebut.

b. Pemeriksaan

Pada sita revindicatoir sifatnya pemeriksaannya sangat sumir, termohon sita tidak perlu didengar, karena pada dasarnya pemohon adalah pemilik sah atas barang yang dimohonkan sita tersebut. Sebagai konsekuensi dari pemikiran ini, maka wajar apabila pihak termohon tidak perlu didengar dalam proses ini.

Sementara itu pada sita conservatoir, pemeriksaan sedikit lebih rumit, karena melibatkan upaya pembuktian unsur adanya sangka yang beralasan, bahwa tergugat sedang berdaya upaya untuk menghilangkan barang-barangnya untuk menghindari gugatan penggugat. SEMA No. 5 Tahun 1975 mengatur bahwa dalam setiap penetapan sita conservatoir disebut alasan-alasan yang menyebabkan sita coservatoir tersebut dikabulkan, yang berarti bahwa sebelum dikeluarkan penetapan yang mengabulkan sita conservatoir tersebut, maka harus diadakan ‘penelitian’ terlebih dahulu tentang ada tidaknya alasan yang dikemukakan pemohon. Sayang SEMA tersebut tidak menjelaskan apa maksud penelitian. [uraikan kebiasaan, praktek]

[Namun terus terang rumusan ini masih kurang memuaskan, karena berbeda dengan sita revindicatoir, sita conservatoir berkaitan dengan hak-hak tergugat, yang tetap harus dilindungi dari tindakan sewenang-wenang yang mungkin berlebihan dari pihak penggugat. Prof Sudikno menyebutkan bahwa pihak tersita perlu didengar keterangannya, sebelum pemberian permohonan sita jaminan tersebut.]

[Melihat sifat sumir yang ada pada pemeriksaan permohonan sita jaminan, maka dapat disimpulkan, bahwa penetapan sita jaminan merupakan kewenangan diskresional hakim. Cukup sulit untuk memberikan karakter yang bersifat baku terhadap indikator dikabulkannya sita jaminan, dan oleh karena itu, akan penetapannya akan sangat tergantung kepada kasus-per kasus.]


Upaya Hukum

a. Perlawanan Pihak Tersita

HIR sama sekali tidak mengatur upaya hukum khusus bagi pihak tersita untuk melawan instrumen sita jaminan. Memang pada dasarnya sita jaminan tidak ditujukan untuk melakukan eksekusi/penjualan terhadap obyek sita dan sekedar melarang tersita untuk melakukan perbuatan hukum terhadap barang tersebut. Namun, sita jaminan tersebut tetap dapat menimbulkan kerugian terhadap tersita.

Sebaliknya Rv justru memuat ketentuan yang secara khusus mengatur perlawanan terhadap sita jaminan, Pasal 724 dan 725 Rv memberikan kesempatan bagi tersita untuk mengajukan bantahan baik dengan sidang singkat [dihadapan ketua (pengadilan) maupun dihadapan sidang raad van justitite. Perlawanan ini diajukan dalam suatu pemeriksaan atas [sah dan berharga atau tidaknya sita jaminan, yang harus diadakan 8 hari setelah sita ditetapkan.]

Penelitian lapangan yang dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat menunjukkan bahwa instrumen berdasarkan pasal 724 Rv jarang sekali dipergunakan. Pada prakteknya, tersita lebih memilih mengajukan:
1. Gugat rekonvensi terhadap pemohon sita, gugat ini berisi permohonan kepada majelis hakim untuk menjatuhkan putusan sela untuk mengangkat atau merubah sita jaminan tersebut, atau
2. Permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mengangkat atau merubah sita tersebut.

b. Perlawanan Pihak Ketiga

Pada dasarnya baik HIR, Rbg maupun Rv tidak mengatur prosedur perlawanan terhadap sita jaminan, baik terhadap sita konservatoir, maupun sita revindicatoir. Konsep dasar dari perlawanan pihak ketiga adalah perlawanan yang didasarkan kepada hak milik. Oleh karenanya, pelawan harus dapat membuktikan bahwa ia adalah pemilik dari barang yang disita, apabila terbukti barang tersebut adalah miliknya, maka pelawan tersebut akan dinyakan sebagai pelawan yang benar dan sita akan diperintahkan untuk diangkat, sebaliknya, apabila tidak terbukti, maka pelawan akan dinyatakan sebagai pelawan yang tidak jujur, dan sita akan dipertahankan.

Dari konsep ini, maka sebenarnya pelawan terhadap sita conservatoir tidak akan dapat memenuhi kriteria perlawanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 195 (6) HIR, karena jelas bahwa perlawanan tersebut bukanlah atas dasar hak milik. Namun pada prakteknya, yurisprudensi perlawanan pihak ketiga selaku pemilik barang yang disita dapat diterima, juga dalam hal sita conservatoir ini belum disyahkan terhadap sita jaminan yang bersifat conservatoir dapat diterima.

Berdasarkan Pasal 207 (1) HIR, perlawanan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang telah memutuskan dilakukannya penyitaan. Pemeriksaan terhadap perlawanan dilakukan melalui acara biasa, dimana kedua belah pihak didengar dan dipanggil secara patut.

c. Ganti Rugi

HIR maupun Rbg sama sekali tidak mengatur mekanisme tuntutan ganti kerugian terhadap sita jaminan yang kemudian diangkat karena pengadilan menolak pokok perkara. HIR maupun Rbg juga tidak mensyaratkan pemohon sita jaminan untuk menyerahkan jaminan sebagai syarat dikabulkannya sita jaminan, sehingga praktis tidak terdapat suatu jaminan yang siap dieksekusi kepada tersita atas kemungkinan kerugian yang mungkin terjadi akibat sita tersebut.

Sementara HIR dan Rbg tidak mengatur mekanisme ganti rugi, perlu dicatat bahwa Rv justru memberikan kesempatan ganti rugi bagi tersita, apabila sita jaminan tersebut kemudian diangkat. Pasal 732 Rv. mengatur bahwa kreditur/pemohon sita dapat dihukum untuk membayar biaya-biaya, kerugian-kerugian, dan bunga, jika terdapat alasan untuk itu. [ada aturan rincinya?] MA pernah memutus bahwa jewajiban ganti rugi oleh kreditur/pemohon didasarkan pada konsep perbuatan melawan hukum. Namun, MA juga menegaskan: (i) sita jaminan hanya dapat dianggap sebagai PMH jika sita tersebut meliputi benda yang secara tegas dikecualikan dari sita – misalnya Pasal 197(8) of the HIR (lihat Putusan MA No 206 K/Sip/1955, 19 Januari 1957); dan (ii) PMH tidak otomatis terjadi jika pengadilan kemudian mengangkat sita tersebut (Putusan MA No. 124 K/Sip/1975, dated 15 Mei1975).

Selain itu, UU Kepailitan juga mengenal sita jaminan yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan debitur dan kreditur. Untuk itu Pengadilan Niaga dapat mempersyaratkan agar kreditur memberikan jaminan dalam jumlah yang wajar apabila upaya pengamanan tersebut dikabulkan. Dalam menetapkan persyaratan tentang jaminan tersebut, Pengadilan antara lain harus mempertimbangkan ada tidaknya jaminan atas keseluruhan kekayaan debitur, jenis kekayaan debitur dan besarnya jaminan yang harus diberikan dibandingkan dengan kemungkinan besarnya kerugian yang diderita oleh debitur apabila permohonan pernyataan pailit ditolak Pengadilan.

PEMAHAMAN DASAR TENTANG HUKUM DAN HUKUM PERBURUHAN

(Materi Pendidikan Pemula untuk Buruh)

oleh: Surbakti

Pendahuluan

Ketika kita mendengar kata "hukum," apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita? Biasanya jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan khawatir yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu sangat wajar terjadi, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri. Seperti juga ketakutan kawan-kawan untuk menuntut upah diatas UMR (Upah Minimum Regional), tujuh ribu rupiah misalnya. Karena kawan-kawan selalu dibayangi ketakutan-ketakutan: "UMR = Rp 4.000,-, kalau saya menuntut Rp 7.000,- maka saya melanggar hukum, menuntut hal yang tidak wajar, berlebihan dan terlalu banyak. Dan kalau saya melanggar hukum, maka saya akan berurusan dengan polisi atau tentara!"Benarkah pemikiran semacam itu? Untuk menjawabnya atau membantu kawan-kawan menemukan jawabannya, maka di bawah ini akan diuraikan tentang proses penciptaan hukum, pengertian dasar tentang hukum, hukum di tengah perkembangan masyarakat, hukum pada umumnya di Indonesia dan cara pandang kita atau analisa kita terhadap hukum perburuhan di Indonesia. Materi ini tidak dimaksudkan untuk mendorong kita menjadi ahli hukum, melainkan membantu kita untuk dapat menempatkan hukum pada posisi dan cara pandang yang benar, agar dengan demikian kita juga dapat menggunakan hukum sebagai salah satu alat dalam perjuangan kaum buruh di Indonesia.

Proses Penciptaan HukumPada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan masyarakat, di mana ketidak-teraturan dan kesewenang-wenangan juga kepentingan-kepentingan dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan menghasilkan proses terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan-ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam perkembangannya dikenal sebagai "hukum." Sehingga pada sebuah tubuh yang namanya hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi kepentingan. Apakah maksudnya? Mari kita uraikan dalam kali pertama ini tentang proses penciptaan hukum.

1. Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Keadilan

Sekarang marilah kita perbandingkan antara kehidupan di mana seseorang itu hidup seorang diri dan kehidupan di mana ada sekumpulan orang yang hidup bersama. Dari perbandingan ini akan kita dapatkan perbedaan yang cukup besar antara dua kehidupan tersebut, di mana kesepakatan-kesepakatan yang mengatur kehidupan antar individu manusia akan dibutuhkan pada situasi di mana manusia tinggal bersama dengan manusia lain, saling berhubungan dan saling ketergantungan. Pada situasi ini, apabila tidak ada peraturan yang disepakati bersama maka akan tidak beres dan tidak tertib. Seorang manusia yang mempunyai kekuatan akan menindas dan memperlakukan sewenang-wenang terhadap manusia lainnya. Sehingga kemudian peraturan-peraturan yang dibuat bersama tersebut dimaksudkan agar kesewenang-wenangan tersebut dapat dibatasi dan terdapat perlakuan yang lebih adil diantara mereka. Sehingga fungsi hukum pada sisi ini ialah menciptakan suatu ketertiban dalam masyarakat.

2. Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Kepentingan

Di sisi lain terciptanya hukum juga dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjadi alat pembenaran untuk tercapainya tujuan-tujuan individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya saja pada masyarakat feodal, seseorang yang mempunyai tanah yang luas lambat laun menguasai hayat hidup orang banyak. Karena orang-orang yang terkuasai ini tidak memiliki tanah, maka akhirnya mereka tinggal dan mengabdikan diri di atas tanah milik tuan tanah tersebut. Orang-orang 'miskin' itu bekerja dan sepenuhnya hidup tergantung pada si tuan tanah. Ketika diatur suatu hukum untuk mengatur masyarakat, maka si tuan tanah akan berusaha sekeras mungkin untuk mempengaruhi isi hukum tersebut agar kepentingan ekonominya (atas tanah atau hartanya yang lain) bisa dipertahankannya. Karena orang-orang yang tergantung padanya banyak, maka ia dapat mempengaruhi orang-orang tersebut untuk mendukungnya mencapai apa yang dia inginkan.

Sehingga pada sisi ini maka hukum menjadi alat untuk mewakili kepentingan orang atau kelompok yang berpengaruh. Dan proses penciptaan hukum seperti inilah yang terus berkembang terutama pada masyarakat di mana jumlahnya sudah sedemikian banyaknya, sehingga penciptaan hukum dilakukan lewat badan perwakilan seperti DPR di Indonesia. Karena, menurut sejarah, dahulu kala penciptaan hukum dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat (karena masyarakatnya masih sedikit sehingga dimungkinkan seluruh masyarakat berkumpul dan bermusyawarah menciptakan suatu peraturan tertentu).Pengertian Dasar Tentang Hukum Dari uraian di atas maka kita dapat simpulkan apa yang dimaksud dengan hukum ialah suatu rangkaian atau sistem dari perangkat-perangkat yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan untuk terciptanya ketertiban, di mana pelanggaran terhadapnya akan terkena sanksi.

Jadi sesungguhnya hukum adalah salah satu norma dalam masyarakat, seperti juga norma agama, kesusilaan dan norma kesopanan. Hanya saja, hukum adalah norma yang lebih tegas daripada norma yang lainnya. Mengapa? Karena hukum mempunyai alat pemaksa yaitu hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan dan terasa oleh pelanggar-pelanggarnya. Hukuman-hukuman ini diterapkan oleh lembaga-lembaga penegak hukum seperti pengadilan, kepolisian, dan lain sebagainya. Nah, sekarang tergambarlah sudah, bahwa apabila kita menyebutkan 'hukum', maka hal itu bukan saja berarti sekumpulan kitab-kitab (buku-buku) yang tebal-tebal, tetapi ada juga lembaga-lembaga ataupun orang-orang. Jadi hukum di sini juga berarti:

  1. Buku-buku yang berisi pasal-pasal mengenai larangan-larangan dan perintah-perintah;
  2. Lembaga-lembaga penegakkan dan pembentuk hukum, misalnya: DPR Pemerintah, pengadilan, kepolisian, lembaga-lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain;
  3. Manusia penegak hukum, misalnya: masyarakat, hakim, jaksa, penuntut umum, pengacara, dan lain-lain.

Oleh karena itu, hukum barulah dapat ditegakkan apabila faktor-faktor tersebut secara selaras dan disiplin menerapkan hukum. Sia-sia sajalah apabila kita memiliki peraturan-peraturan yang sempurna, tetapi hakim masih bisa disogok, atau polisi masih sewenang-wenang. Atau seluruh perangkat telah sempurna bekerja, tetapi masyarakat sama sekali tidak mengindahkannya atau tidak mematuhinya. Sehingga dapat dikatakan, hukum baru dapat ditegakkan apabila seluruh subyek hukum menjalankan fungsinya. Untuk dapat dipatuhi, maka hukum haruslah menjamin keadilan untuk masyarakat yang akan menjalankannya. Pertanyaan yang harus kita jawab sekarang adalah apakah hukum kita telah menjamin keadilan untuk seluruh rakyat? Karena, apabila hukum tidak menjamin keadilan, maka akan terjadi banyak keresahan-keresahan dalam masyarakat. Hal itu mensyaratkan bahwa haruslah terjadi perubahan atau reformasi hukum.

Hukum dan Perkembangan Masyarakat

Seorang hakim Agung dari Jerman yang bernama Karl Von Savigny mengatakan bahwa "Hukum itu tidak berdiri sendiri, tetapi tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat." Pernyataan itu dapat diandaikan sebagai berikut:

Pada tahun 30-an masyarakat memakai dokar sebagai alat transportasi sehingga kemudian muncul peraturan tentang tata tertib pemakaian dokar. Tetapi masyarakat terus berkembang. Sekarang di tahun 90-an, masyarakat tidak lagi memakai dokar, tetapi sudah menggunakan kendaraan bermotor seperti mobil atau sepeda motor. Tetapi peraturan tertulis adalah benda mati. Haruskah masyarakat dikekang agar tidak menggunakan kendaraan bermotor karena tidak ada peraturannya? Tentu saja tidak! Melainkan, peraturanlah yang harus berubah. Maka dibuatlah sebuah peraturan tentang kendaraan bermotor.

Persis seperti itu pula dengan apa yang terjadi pada perkembangan perjuangan kaum buruh di Indonesia. Kalau pada tahun 50-an kebutuhan kaum buruh dinilai dengan tidur beralaskan tikar, berpenerangan lampu teplok, beralas kaki sandal jepit, dan lainnya, sehingga itulah yang digunakan sebagai standar menentukan upah, apakah di era canggih sekarang ini di mana orang telah memakai listrik, menemukan satelit atau komputer, kita tetap menerima upah berstandarkan tikar, lampu teplok dan sandal jepit??!! Tidak! Sekali lagi: tidak! Kenapa? Karena masyarakat telah berkembang. Dan kita tidak hidup di tahun 50-an. Kita hidup sekarang di tahun 90-an, di tengah teknologi dan inflasi.

Itulah karenanya peraturan yang ada sekarang hanyalah membuat kita resah, gelisah melihat kebutuhan-kebutuhan yang kian hari kian tak dapat terpenuhi. Lalu mengapa hukum tidak dapat menjawab keresahan-keresahan kita? Mengapa hukum yang ada tidak membuat kita merasa adil atau terlindungi? Jawabannya adalah karena proses penciptaan dan perkembangan hukum yang ada sekarang telah memasuki tahap penciptaan hukum yang berpihak pada sisi kepentingan sekelompok orang yang bernama pemodal. Masyarakat sendiri berkembang dalam tahap-tahap. Dimulai dari masyarakat primitif --> perbudakan --> feodal --> kapitalis --> masyarakat tanpa klas. Setiap bentuk masyarakat itu mempunyai ciri-cirinya yang sangat spesifik (khusus), terutama pada struktur ekonomi dan pola produksinya. Sehingga berangkat dari ciri tersebut kemudian mempengaruhi watak negara. Yang berarti juga mempengaruhi segala unsur dalam negara termasuk politik, hukum, dan lainnya.Pada masyarakat kapitalis, di mana sekelompok kecil menguasai pemilikan alat-alat produksi dan di sisi lain sekelompok besar lainnya hanya memiliki tenaga untuk melakukan kerja, maka masyarakat terbagi atas kelas-kelas terutama dalam hubungan ini, kelas pemilik modal dan kelas buruh. Dan pada masyarakat kapitalis watak negara pun menjadi kapitalistis (berpihak pada klas kapitalis). Kalau watak negara kapitalistis, maka hukum yang berlaku juga diwarnai dengan keberpihakannya pada klas pemodal.Hukum dalam Masyarakat IndonesiaWalaupun banyak orang yang mengatakan pasal 33 UUD 1945 bersifat sangat sosialis, tetapi perkembangan masyarakat Indonesia, tidak dapat dipungkiri, telah masuk dalam tahap masyarakat kapitalis. Lihatlah pabrik-pabrik yang berdiri megah-megah itu dimiliki oleh segelintir orang saja. Badan-badan usaha milik negara pun sekarang telah mulai diswastanisasikan, dimiliki oleh kaum bermodal. Dan kita pun memilah orang-orang menjadi: orang-orang bermobil, berumah mewah, memiliki perusahaan-perusahaan kita sebut pengusaha dan orang-orang yang berebutan naik "bis karyawan," makan mie instan setiap hari, tinggal di pemukiman-pemukiman kumuh kita sebut buruh. Semua itu membuktikan bahwa Indonesia sekarang adalah negara kapitalis. Dan apabila kita bertanya: jadi seperti apakah sistem hukum Indonesia? Jawabannya pasti sistem hukum yang kapitalistis.Oleh sebabnya, secara umum dapat kita simpulkan bahwa sulit sekali kaum tertindas di Indonesia untuk mendapatkan keadilan melalui hukum. Banyak peristiwa yang tidak dapat diselesaikan secara adil oleh perangkat hukum. Pengrusakkan hutan-hutan di Sumatra atau Kalimantan misalnya. Tidak terjangkau oleh hukum karena ada kepentingan pemodal yang mengusahakan penebangan hutan. Atau penggusuran tanah milik rakyat, tidak dapat juga terselesaikan karena ada kepentingan untuk menjadikan tanah itu menjadi lahan industri, _real estate_ atau lapangan golf. Atau kasus-kasus pemogokan dan perselisihan perburuhan juga diselesaikan dengan kekerasan senjata. Banyak juga pejabat-pejabat yang ketika dia melanggar hukum, seakan-akan hukum tak pernah bisa menjangkaunya (kebal hukum). Dan masih banyak lagi peristiwa lainnya yang menunjukkan begitu rentannya hukum dan betapa hukum hanyalah menjadi alat bagi kepentingan-kepentingan mempertahankan kekuasaan dan penguasaan modal. Sehingga sebenarnya ketika kita mencoba menganalisa hukum di Indonesia, maka kerusakkannya tidaklah dapat disembuhkan kecuali sistemnya dahulu diperbaiki. Dan kalau kita mempelajari lebih lanjut mengenai hukum, kita dapat membagi hukum dalam dua cara kajian:

1. Hukum publik yaitu hukum yang mengatur setiap perbuatan melawan hukum yang dapat dilakukan oleh siapa pun juga (tidak mengandung unsur pihak-pihak yang bersengketa);

2. Hukum privat yaitu hukum yang mengatur persengketaan pihak-pihak. Hukum perburuhan adalah salah satunya. Dalam hukum perburuhan pihak-pihaknya sangat jelas, yaitu pada intinya mengatur tentang hubungan kerja antara majikan dan buruh. Inilah yang akan kita bahas selanjutnya.Hukum Perburuhan di IndonesiaSekarang kita akan membahas lebih jauh tentang hukum perburuhan, yang bagi kaum buruh jenis hukum inilah yang paling bersentuhan dengan masalah kita sehari-hari. Hukum perburuhan sebenarnya juga merupakan hukum yang paling mudah dipelajari untuk melihat perkembangan masyarakat yang terjadi sekarang ini di Indonesia. Namun untuk mempelajarinya, kita harus senantiasa mengkaitkannya dengan hal-hal yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya begini, kenaikan upah yang ditetapkan menurut peraturan akan dirasakan besar apabila hanya melihat jumlahnya. Tetapi kalau kita juga mempelajari kenaikan-kenaikan harga di pasar, maka jumlah ini akan terlihat sangat kecil, bahkan kenyataanya dapat dikatakan tidak ada kenaikkan sama sekali.Selain itu juga secara keseluruhan peraturan-peraturan perburuhan yang berlaku sekarang di Indonesia merupakan rangkaian dari proses pemenjaraan hak kaum buruh. Untuk hal ini tentu saja kawan-kawan harus mempelajarinya melalui diskusi-diskusi kelompok. Tetapi mungkin pada bagian ini kita akan coba pelajari sedikit tentang hukum perburuhan dan di sisi apa ia sangat merugikan kaum buruh.Peraturan Mengenai UpahUpah kecil dan sangat tidak realistis, kita tidak perlu membahasnya karena hal itu kawan-kawanlah yang dapat merasakannya sehari-hari. Tetapi terhadap pelanggaran ketentuan upah, apa sanksi yang dapat dikenakan terhadap majikan? Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1981 pasal 32 menyebutkan apabila majikan melanggar ketentuan mengenai upah maka dia dapat dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000,-. Sekarang marilah kita hitung, kalau saja sebuah perusahaan mempekerjakan 1000 orang buruh, dan melanggar ketentuan upah minimum Rp 500,- kepada setiap orang buruh setiap hari.

Dalam satu hari saja keuntungan yang dapat diambil oleh majikan dengan merampas hak buruh mencapai = Rp 500,- x 1000 = Rp 500.000,-. Dalam sebulan = Rp 500.000,- x 25 = Rp 12.500.000,-. Dalam satu tahun = 12 x Rp 12.500.000,- = Rp 150.000.000,-.Tentu saja dengan hal ini majikan akan memilih melanggar ketentuan upah dengan sanksi Rp 100.000,- ketimbang membayarkan hak buruhnya.Ketentuan ini sangat tidak masuk akal dan sangat tidak adil untuk buruh. Padahal ketentuan hukum menyebutkan bahwa sanksi yang dijatuhkan untuk setiap pelanggaran hukum haruslah jauh lebih berat daripada bentuk pelanggarannya, karena itulah yang akan membuat setiap pelanggarnya menjadi jera untuk melanggar hukum. Tetapi apakah ketentuan ini diterapkan dalam PP No. 8 tahun 1981?Ketentuan mengenai Hak MogokDalam konvensi ILO (Organisasi Buruh Internasional) yang telah diratifikasi (disyahkan berlaku) oleh Indonesia dinyatakan bahwa mogok adalah hak buruh. Dalam sejarah pun mogok memang merupakan senjata kaum buruh. Mengapa? Karena dengan mogoklah kaum buruh dapat menyeimbangkan kekuatannya dengan pemodal yang mempekerjakannya. Tetapi kemudian berlakulah rangkaian peraturan yang setahap demi setahap sebenarnya mempereteli senjata kaum buruh ini. Misalnya saja pada pasal 13 UU No. 14 tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, menyebutkan "penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan perundang-undangan." (UU No. 22 tahun 1957 dan Penpres No. 7 tahun 1963) yang sesungguhnya mengatur tentang penyelesaian perselisihan perburuhan yang di dalamnya telah mengambil alih fungsi mogok dengan dibentuknya lembaga arbitrase yang terdiri dari Perantaraan Depnaker, P4D, dan P4P. Lembaga-lembaga yang pada kenyataannya sama sekali tidak berpihak pada buruh, dan sangat melemahkan tuntutan buruh terpusat pada ketentuan normatif saja.Demikian juga tentang kesehatan dan keselamatan kerja, hak-hak kesejahteraan lainnya, yang bukan saja tidak diatur dalam peraturan tertulis yang berpihak pada kepentingan buruh, tetapi juga ditegakkan oleh pegawai-pegawai negara yang pada prakteknya sangat berpihak pada kepentingan kaum pemodal. Untuk itu kawan-kawan harus terus mempelajarinya. Kunci dari segala permasalahan ini ialah tidak adanya organisasi atau serikat buruh yang benar-benar dapat mewakili dan melindungi kepentingan-kepentingan kaum buruh di Indonesia. Untuk itu negara juga merampas hak berorganisasi buruh melalui peraturan-peraturan tentang hak berorganisasi yang sebenarnya sama sekali tidak memberikan kesempatan kaum buruh untuk berorganisasi. Oleh karena itu sesungguhnya hukum yang berlaku sekarang tidak dapat dijadikan alat perjuangan kaum buruh, bahkan kaum buruh harus berjuang untuk sebuah perubahan hukum yang lebih adil.Jadi, mempelajari hukum perburuhan bukanlah untuk membuat kita tahu, hapal kemudian dijadikan pedoman untuk perjuangan kita. Tetapi mempelajari hukum perburuhan berarti mencoba dengan kritis melihat sisi-sisi yang merugikan kaum buruh dan berjuang untuk melakukan perubahan. Apabila hukum sudah dianggap adil oleh kaum buruh, maka hukum dapat dijadikan alat untuk perjuangan kaum buruh. Dapatkah hukum berubah? Tentu saja dapat sebagaimana yang telah kita bahas di muka, bahwa hukum itu mengikuti perkembangan masyarakat. Maka perkembangan kesadaran dan kekuatan kaum buruh untuk memperjuangkan haknya adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perubahan hukum.Selamat berjuang!****

Pejabat Pembuat Akta Tanah/PPAT

Pejabat Pembuat Akta Tanah/PPAT (Ps.1 ayat 1 Ps.2 ayat 1 Peraturan Pemerintah No.37 Th. 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah)

Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.

PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.



Akta-akta yang boleh dibuat oleh PPAT

1 Jual Beli (Tanah & Bangunan)
2 Tukar Menukar
3 Hibah
4 Pemasukan kedalam perusahaan inbreng
5 Pembagian Hak Bersama
6 Pemberian Hak Tanggungan
7 Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
8 Dan lain-lain selama tidak dikecualikan kepada pejabat atau instansi lain.


Persamaan Notaris dan PPAT adalah :

Keduanya berwenang membuat alat bukti yang otentik



Perbedaan Notaris dan PPAT adalah :

Notaris berwenang :

Membuat akta otentik mengenai semua perjanjian, terkecuali yang telah ditugaskan kepada pejabat lain.

Pejabat lain tersebut antara lain Pejabat Kantor Catatan Sipil, PPAT dll.


Setiap akta PPAT harus selalu diikuti dengan pendaftaran di Kantor Pertanahan (BPN) kecuali akta SKMHT.





Selasa, 06 Januari 2009

MASA DEPAN HUKUM DI ERA TEKNOLOGI INFORMASI: KEBUTUHAN UNTUK KOMPUTERISASI SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KENEGARAAN DAN PEMERINTAHAN

MASA DEPAN HUKUM DI ERA TEKNOLOGI INFORMASI: KEBUTUHAN UNTUK KOMPUTERISASI SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI KENEGARAAN DAN PEMERINTAHAN[1]

oleh: Jimly Asshiddiqie[2]

PENGANTAR

Sekarang dan apalagi di masa-masa mendatang, kegiatan ekonomi, sosial, politik, dan bahkan kebudayaan tanpa dapat dihindarkan akan makin banyak dilakukan dengan memanfaatkan jasa jaringan komputer dan telekomunikasi elektronik. Di masa-masa dimana semua kegiatan dilakukan dengan pendekatan ‘paperless’, jasa komputer dan telekomunikasi elektronik ini nantinya akan makin memperoleh posisi yang sentral dalam kegiatan umat manusia sehari-hari. Oleh karena itu, para ahli hukum administrasi negara dan hukum tata negara, para penentu kebijakan dan juga para pengamat serta peminat mengenai urusan-urusan administrasi yang berkenaan dengan fungsi-fungsi kenegaraan dan pemerintahan harus juga turut memperhitungkan pentingnya jasa komputer dan telekomunikasi elektronik ini di masa mendatang.

Apabila kita mengkhususkan perbincangan kita mengenai sistem informasi administrasi kenegaraan dan pemerintahan, maka kita membahas mengenai aspek sistem informasi dan administrasi yang terkait dengan fungsi-fungsi lembaga-lembaga tinggi negara dan sistem administrasi pemerintahan. Dalam hubungan itu, sistem informasi dan administrasi yang harus diperhitungkan perlu dikelompokkan sebagai berikut:

1. Sistem informasi dan administrasi di lingkungan MPR, DPR dan DPRD propinsi, dan kabupaten/kota.

2. Sistem informasi dan administrasi di lingkungan Kekuasaan Kehakiman atau badan-badan peradilan, mulai dari Mahkamah Agung sampai ke Pengadilan tingkat pertama.

3. Sistem informasi dan administrasi di lingkungan Badan Pemeriksa Keuangan, dan Dewan Pertimbangan Agung.

4. Sistem informasi dan administrasi di lingkungan kantor kepresidenan atau sekretariat negara.

5. Sistem informasi dan administrasi di lingkungan Kantor Gubernur, Kantor Bupati dan Walikota.

Dari sudut hukum tata negara dan administrasi negara, informasi-informasi dan produk-produk hukum dan kebijakan-kebijakan administrasi yang dianggap penting untuk dikomputerisasikan dan dikembangkan sebagai bahan dalam rangka komunikasi dan telekomunikasi elektronis, minimal adalah:

1. Produk-produk peraturan tertulis yang dikeluarkan dan ditetapkan ataupun yang dijadikan dasar kebijakan yang diambil.

2. Tindakan-tindakan administrasi yang diambil oleh pejabat yang bersangkutan yang dituangkan dalam bentuk-bentuk tertulis.

3. Rumusan-rumusan program dan kebijakan-kebijakan publik yang dijadikan pegangan bagi pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan oleh pejabat publik yang bersangkutan.

4. Informasi dan data personalia sebagai aparat pelayanan publik yang terlibat dalam sistem administrasi kenegaraan dan pemerintahan pada level yang bersangkutan.

Keseluruhan informasi yang dikomputerisasikan tersebut perlu dikembangkan menurut standard tertentu, sehingga perangkat sistem yang dikembangkan bersifat ‘compatible’ satu sama lain dan dapat saling terkait dalam jaringan sistem informasi yang terintegrasi secara nasional melalui sistem otomatisasi elektronis. Masalahnya kemudian, kebijakan untuk mengembangkan sistem network semacam ini memerlukan keputusan politik untuk mengembangkannya. Agar, terkoordinasi, menurut saya, yang harus mengambil keputusan mengenai kebutuhan mengembangkan sistem informasi semacam ini adalah Sekretariat Negara. Namun, sebelum program semacam itu dibuat, disepakati dan diputuskan, semua instansi yang terlibat dapat memulainya dengan prakarsa sendiri-sendiri, asalkan aparat administrasi pelaksana program komputerisasi ini dapat saling berkomunikasi satu sama lain. Apalagi untuk memulai program nasional seperti ini dibutuhkan dana dan tenaga yang tidak sedikit. Oleh karena itu, tidak ada salahnya apabila dari kalangan perguruan tinggi ataupun dari kalangan swasta tertentu, dapat mengambil prakarsa untuk memulai program yang penting ini dengan bekerjasama dengan salah satu atau beberapa instansi terkait. Yang penting adalah bahwa dalam perjalanan pelaksanaan program ini nantinya, para pelaksana itu dapat saling berkomunikasi satu sama lain, dan apabila perlu, dapat pula diciptakan mekanisme pertemuan berkala (misalnya setahun sekali atau 6 bulan sekali) di antara sesama administratur pelaksana dalam rangka ‘electronic linkage’ di kemudian hari.

MASYARAKAT ‘HIPERREGULASI’

Masyarakat modern cenderung berkembang makin kompleks dan rumit. Karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan demi perubahan juga berlangsung secara cepat dan menjangkau lapisan yang luas dan mendalam. Untuk menjamin agar proses perubahan yang terjadi dapat dikendalikan secara teratur, muncul kebutuhan yang makin meningkat untuk membuat aturan demi aturan. Akibatnya, norma aturan itu tumbuh cepat sekali di semua sektor dan di semua lapisan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan bahkan dalam hubungan antar masyarakat, antar bangsa dan antar negara. Kecenderungan produksi peraturan yang makin lama makin kompleks inilah yang mendorong munculnya apa yang dapat kita namakan dengan gejala ‘hiperregulasi’ dalam tulisan ini.

Sebenarnya, gejala ini sudah muncul mulai akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Sebagai respons terhadap kekecewaan umum terhadap fenomena kapitalisme klasik dan liberalisme yang didasarkan atas faham individualisme yang ekstrim, umat manusia dengan antusiasnya mengembangkan aliran pemikiran sosialisme yang menjadi landasan berkembangnya gagasan mengenai ‘welfare state’ atau negara kesejahteraan[3]. Dalam paham ‘welfare state’ ini, berbagai persoalan-persoalan sosial dan ekonomi yang di masa sebelumnya dianggap sebagai wilayah pasar bebas yang tidak boleh diintervensi oleh kekuasaan negara, maka atas pengaruh sosialisme itu diharuskan menjadi perhatian penting yang harus diurus juga oleh negara dengan penuh tanggungjawab. Karena itu, konsep ‘welfare state’ ini disebut oleh Bung Hatta sebagai konsep Negara Pengurus[4] yang berpengaruh dalam penyusunan UUD 1945, terutama ketika merumuskan Bab XIV UUD 1945 yang berisi Pasal 33 dan Pasal 34 UUD proklamasi negara kita.

Dengan berkembangnya gelombang pengaruh aliran sosialisme ini, dimulailah suatu era perluasan tanggungjawab negara ke dalam wilayah-wilayah persoalan yang sebelumnya murni merupakan dinamika masyarakat sendiri. Bentuk paling ekstrim dari kecenderungan intervensionis peran pemerintah atau negara dalam kegiatan masyarakat ini adalah dengan munculnya paham dan rezim komunisme di banyak negara Eropah Timur dan di berbagai belahan dunia lainnya. Sebagai akibatnya, berkembang kecenderungan bagi negara untuk mengatur semua hal dalam bentuk peraturan-peraturan yang mengikat publik, sehingga kita menyaksikan terjadinya keadaan ‘over regulasi’ dalam kehidupan sosial politik, sosial ekonomi dan bahkan sosial budaya dimana-mana. Akibat lebih lanjut adalah peran negara cenderung menjadi makin kuat dan mengendalikan segalanya, baik di bidang politik, ekonomi dan bahkan kebudayaan, yang kemudian terbukti tidak dapat diidealkan dalam upaya membangun kehidupan yang damai, adil dan sejahtera.

Sejak pertengahan abad ke-20, kelemahan ini mulai disadari. Dimana-mana mulai muncul gerakan yang bergelombang untuk mendorong proses demokratisasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan bahkan gelombang liberalisasi yang dikaitkan dengan upaya memprivatisasikan berbagai badan usaha milik negara, mendorong berkembangnya semangat debirokratisasi peran pemerintah, dan bahkan mengembangkan kebijakan deregulasi dalam arti mengurangi aturan-aturan yang terlalu rumit dan tidak efisien[5]. Seperti yang diperlihatkan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam bukunya Megatrends 2000[6], gelombang privatisasi itu berkembang sangat cepat mulai sejak tahun 1970-an, dimulai dari Inggeris, kemudian berkembang di Amerika Serikat, di Jepang dan kemudian di hampir semua negara. Boleh dikata, sampai menjelang berakhirnya abad ke-20, semua pemerintahan dengan keluasan dan tingkat kecepatan yang berbeda-beda, telah menjalankan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi itu di negaranya masing-masing.

Dengan berkembangnya kecenderungan privatisasi, deregulasi dan debirokratisasi yang dilakukan bersamaan dengan gelombang demokratisasi dimana-mana, memang berakibat positif untuk menghentikan penambahan jumlah peraturan yang dibuat. Akan tetapi, produktifitas peraturan yang telah dibuat hampir satu abad sudah keburu berkembang sangat rumit. Di samping itu, pengurangan peran negara dalam memproduksi hukum dan dalam mengendalikan dinamika perubahan dalam masyarakat, terbukti tidak serta merta mengurangi jumlah aturan yang dijadikan pegangan dalam kehidupan masyarakat. Penciptaan norma aturan dalam kehidupan bersama terus saja berkembang, meskipun proses produksinya tidak lagi ditentukan semata-mata oleh pemerintah atau bahkan oleh negara.

Untuk mengatasi segala kerumitan yang timbul dalam dinamika masyarakat itu sendiri, mau tidak mau, masyarakat kita sendiri memangt dipaksa dan bahkan dipacu oleh keadaan untuk membuat segala macam aturan yang memang dibutuhkan. Makin kompleks skala dan dimensi perubahan itu terjadi, makin meningkat pula kebutuhan akan norma-norma pengatur dan pengendali itu berkembang. Karena itu, perkembangan kebutuhan untuk membuat aturan ini malah cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu, dan tanpa disadari makin lama makin cenderung timbul keadaan ‘over regulasi’. Gejala ini terjadi, baik dalam lingkungan tradisi ‘common law’ yang mengutamakan prinsip ‘judge-made law’ maupun dalam tradisi ‘civil law’ yang mengutamakan pembuatan peraturan tertulis, gejala ‘over regulasi’ itu terjadi. Gejala inilah yang disebut oleh Richard Susskind sebagai gejala ‘hyperregulation’ dalam bukunya “The Future of Law: Facing the Challenges of Information Technology”[7].

Dalam tradisi ‘common law’, tiap hari muncul putusan-putusan hakim di satu daerah yang dalam waktu segera harus menjadi referensi bagi hakim di daerah lainnya dalam memutuskan perkara yang serupa. Bahkan dalam sistem commenwealth yang memungkinkan dilakukannya ‘import’ hakim dari satu negara anggota persemakmuran Inggeris ke negara anggota persemakmuran lainnya, putusan hakim di satu negara juga menjadi referensi bagi hakim di negara anggota lainnya dalam memutuskan perkara yang serupa[8]. Demikian pula dalam tradisi ‘civil law’ kecenderungan membuat peraturan untuk mengatur berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat, terus meningkat sejalan dengan cepatnya proses perubaan terjadi.

Makin cepat perubahan itu berlangsung, makin cepat pula berkembangnya tuntutan kebutuhan untuk mengadakan pembaruan terhadap berbagai produk peraturan yang ada. Makin cepat perubahan terjadi, makin kompleks pula perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga memicu banyaknya terjadi persengketaan yang perlu diputuskan oleh hakim. Di samping itu, makin kompleks perubahan terjadi dan makin rumit permasalahan yang dihadapi, makin berkembang pula kebutuhan untuk membuat aturan-aturan guna mengendalikan dinamika perubahan itu. Karena itu, sebagai akibat terjadinya revolusi teknologi komunikasi dan transoportasi dan makin cepatnya dinamika perubahan terjadi, maka makin meningkat pula kecenderungan untuk memproduksi peraturan-peraturan baru, baik dalam bentuk putusan-putusan hakim maupun dalam bentuk peraturan tertulis

Sebagai akibat gejala ‘overregulasi’ atau ‘hiperregulasi’ itu, menurut Richard Susskind, timbul pula kecenderungan terjadinya ‘alienasi hukum’. Hukum makin lama makin teral[9]ienasi atau terasing dari masyarakatnya sendiri. Hukum juga makin terasing dari warganegara, dari lingkungan pelaku bisnis, dan bahkan dari kalangan para ahli hukum sendiri[10]. Karena itu, dibutuhkan kelompok professional yang mengkhususkan keahliannya di bidang hukum, yang terus menerus mengikuti perkembangan hukum dan bekerja profesional di bidang ini. Akan tetapi, para ahli hukum sendiri harus bekerja dengan lebih keras dan profesional. Para ahli hukum tidak saja dituntut untuk menguasai berbagai teori ilmu hukum tetapi juga memahami betul perkembangan aneka peraturan-peraturan yang berkembang cepat itu. Dunia pendidikan hukum dapat dipastikan akan gagal mempersiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas untuk bekerja di bidang hukum apabila orientasi kurikulumnya hanya memuat teori-teori yang dihasilkan dari masa lalu, tanpa mengaitkannya dengan peraturan-peraturan yang tumbuh cepat dalam kenyataan praktek.

Di samping itu, para ahli dan sarjana hukum yang bekerja dalam praktek juga menghadapi masalah yang tidak sederhana. Apabila mereka tidak membiasakan diri dengan mengikuti perkembangan aneka peraturan perundang-undangan dan dinamika hukum dalam praktek. Akan tetapi, bersamaan dengan itu, bagaimana mungkin kita dapat mengikuti dinamika perkembangan yang begitu cepat tanpa dibantu oleh peralatan yang memadai dengan sistem otomatisasi. Dalam hubungan itulah maka peranan teknologi informasi berupa sistem komputer dan sistem komunikasi internet, serta sarana dan prasarana hukum elektronis lainnya menjadi sangat mutlak diperlukan. Para ahli hukum tidak mungkin dapat melayani kebutuhan akan layanan hukum yang sangat cepat berkembang sebagai akibat terjadinya revolusi teknologi informasi, tanpa memanfaatkan jasa teknologi informasi itu sendiri.

Jasa teknologi informasi dalam bidang hukum bahkan tidak hanya berguna bagi para ahli hukum, terapi juga penting bagi siapa saja ataupun instansi apa saja yang memerlukan informasi hukum dalam waktu yang cepat. Baik para sarjana hukum yang bekerja di dunia pendidikan dan penelitian maupun sarjana hukum yang bekerja di dunia bisnis, di dunia politik dan pemerintahan, maupun di tengah masyarakat pada umumnya, memerlukan jasa pelayanan hukum yang cepat, agar mereka sendiri dapat pula memberikan pendapat-pendapat hukum yang cepat dan tepat. Di setiap unit kerja kenegaraan, pemerintahan maupun di dunia usaha (bisnis), jasa teknologi informasi semacam ini juga sangat dibutuhkan untuk menjamin agar dinamika pelaksanaan tugas sehari-hari dapat berjalan secara teratur dan taat asas. Apalagi di lingkungan negara yang menganut prinsip negara hukum, yang mencita-citakan tegaknya prinsip ‘the rule of law’, keteraturan sistem hukum merupakan sesuatu yang niscaya dan tidak dapat ditawar-tawar.

INSTITUSI KENEGARAAN DAN PEMERINTAHAN

1. Badan Perwakilan Rakya

a. Produk Peraturan Perundangan:

Dengan mengacu pada ketentuan Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang dapat kita kategorikan sebagai badan-badan perwakilan rakyat di Indonesia dewasa ini adalah:

1) MPR-RI (termasuk MPRS).

2) DPR-RI (termasuk DPRS).

3) DPRD propinsi yang sebelumnya dinamakan DPRD Tingkat I.

4) DPRD kabupaten dan kota yang sebelumnya dinamakan DPRD Tingkat II[11].

5) Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama setempat[12].

Di masa lalu, di zaman Hindia Belanda, dikenal pula adanya Volksraad (Dewan Rakyat)[13] yang dapat disetarakan dengan pengertian DPR di zaman sekarang. Produk peraturan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga perwakilan rakyat tersebut bervariasi dari waktu ke waktu. Akan tetapi, keseluruhannya dapat dikelompokkan secara bertingkat sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar, Perubahan UUD, Ketetapan MPR, dan GBHN[14].

b. Undang-Undang.

c. Peraturan Daerah Propinsi.

d. Peraturan Daerah Kabupaten dan Kota.

e. Peraturan Desa atau disebut dengan nama lain, misalnya Peraturan Nagari, Peraturan Marga, dan lain ssebagainya.[15]

Di zaman Hindia Belanda, dikenal pula bentuk peraturan seperti Ordonantie,Regerings Verordening (RV), dan Peraturan Daerah (swapraja dan swatantra). Ordonantie merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal bersama-sama dengan Volksraad di Jakarta, sesuai dengan Titah Ratu Kerajaan Belanda di Den Haag, sedangkan Regerings Verordening (RV) merupakan peraturan pemerintah yang ditetapkan oleh Gubernur Jenderal untuk melaksanakan Undang-Undang (Wet)[16] di negeri Belanda[17].

b. Keputusan dan Ketetapan Administratif

Badan-badan perwakilan rakyat juga mengeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat internal badan perwakilan rakyat yang bersangkutan, misalnya, Peraturan Tata Tertib DPR, atau Peraturan Tata Tertib MPR yang dituangkan dalam bentuk Keputusan yang berlaku internal. Dalam kaitannya dengan administrasi karyawan dalam lingkungan rumah tangga badan perwakilan rakyat, dapat pula dikeluarkan peraturan-peraturan karyawan tersendiri oleh sekretariat badan perwakilan yang bersangkutan. Semua ini bersifat administratif dan berlaku secara internal. Termasuk dalam pengertian putusan-putusan yang bersifat administratif itu adalah putusan-putusan yang dituangkan dalam bentuk keputusan yang bersifat ‘beschikking’ seperti menetapkan ataupun memberhentikan seseorang dalam atau dari jabatan anggota komisi tertentu, ataupun panitia kerja tertentu[18].

c. Kebijakan dan Arahan Program:

Dokumen-dokumen yang berisi rumusan program dan kebijakan pimpinan badan perwakilan rakyat juga merupakan bahan informasi yang penting. Termasuk dalam hal ini adalah bahan-bahan pidato dan sambutan pimpinan badan perwakilan, bahan-bahan dan notulen-notulen rapat dan persidangan para anggota badan perwakilan, serta catatan-catatan hasil rapat, termasuk rapat dengar pendapat dengan pihak luar badan perwakilan. Selain itu, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan agenda persidangan, program-program kerja yang bersifat internal ataupun menyangkut kepentingan internal anggota badan, program-program yang berkaitan dengan karyawan, dan sebagainya, yang dituangkan dalam bentuk terulis juga bernilai sebagai informasi yang penting di kemudian hari. Oleh karena itu, semua informasi tersebut perlu didokumentasikan secara ‘computerized’ dan ‘elektronis’.

d. Data Base Sumber Daya Manusia:

Data base tentang keanggotaan badan-badan perwakilan rakyat, termasuk personalia karyawan badan-badan perwakilan rakyat yang bersangkutan perlu ditata, sehingga informasi mengenai soal ini dapat diketahui secara luas melalui jaringan informasi dan komunikasi elektronis. Sedapat mungkin, data base keanggotaan dan karyawan ini dihimpun selengkap mungkin, tidak saja menyangkut data pribadi, tetapi juga data mengenai latar belakang kehidupan, perkembangan pemikiran, keahlian, perkembangan tugas dan pekerjaan serta prestasi, karya dan pengabdian yang telah disumbangkan, dan lain-lain sebagainya. Kita tidak dapat memperkirakan bagaimana sesungguhnya gambaran kualitas anggota parlemen kita di tiap-tiap daerah dan di Indonesia secara keseluruhan tanpa mengetahui data base mereka. Gambaran kualitas ini penting, karena dari sanalah kita dapat memperkirakan berbagai kemungkinan mengenai kinerja mereka dalam melaksanakan tugas-tugas konstitusional mereka parlemen baik sebagai lembaga legislatif maupun lembaga pengawasan politik.

2. Presiden dan Badan Pemerintahan:

Secara horizontal, yang dapat dimasukkan ke dalam kategori sebagai lembaga pemerintahan di tingkat pusat setidaknya adalah kantor lembaga kepreseidenan, kantor departemen pemerintahan, kantor kementerian tanpa portfolio, dan kantor badan-badan pemerintahan non-departemen. Masing-masing badan atau lembaga selalu diikat oleh perangkat-perangkat peraturan tertulis yang lebih tinggi, dan di dalamnya juga diberlakukan berbagai perangkat peraturan, baik yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat yang lebih tinggi ataupun yang dikeluarkannya sendiri untuk kebutuhan internal. Berbagai perangkat peraturan dimaksud biasanya tidak mudah untuk dipahami oleh setiap orang. Karena itu, diperlukan unit kerja tertentu yang mengkhususkan diri dalam upaya pendokumentasian dan pemanfaatannya untuk menjamin keberlakuannya dalam kenyataan praktek. Sedangkan secara vertikal, organisasi pemerintahan tersusun mulai dari pusat sampai ke desa-desa. Karena itu, tingkatan pemerintahan dapat dibagi menjadi pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten atau kota, dan pemerintahan desa. Bahkan di atas desa dan di bawah kabupaten atau kota masih terdapat struktur kecamatan yang dipimpin oleh camat. Semua unit kerja ini di satu segi terikat oleh peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang lebih tinggi, dan di pihak lain juga mengeluarkan berbagai perangkat aturannya sendiri yang berlaku di lingkungan internalnya masing-masing.

a. Lembaga Kepresidenan

Sejak kemerdekaan pada bulan Agustus 1945, Indonesia pernah menerapkan sistem presidentil dimana Presiden berfungsi sebagai Kepala Negara dan sekaligus Kepala Pemerintahan (eksekutif), dan pernah juga juga mempraktekkan sistem parlementer dimana Presiden berfungsi sebagai Kepala Negara saja, sedangkan kedudukan Kepala Pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Meskipun UUD 1945 menganut sistem Presidentil (quasi), akan tetapi kabinet presidentil pertama setelah kemerdekaan hanya berusia k.l. 2 bulan, dan setelah itu berganti dengan kabinet yang menggunakan sistem parlementer.

Dalam kapasitasnya sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, Presiden berdasarkan ketentuan UUD 1945 memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Tetapi dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, pemegang kekuasaan membentuk UU itu adalah DPR dan/atau Senat. Perbedaannya mempengaruhi kedudukan hukum Undang-Undang. Di bawah sistem Konstitusi RIS dan UUS 1950, UU tidak dapat diganggu gugat karena UU itu hasil dari cabang kekuasaan yang mencerminkan kedaulatan rakyat yang disalurkan melalui lembaga perwakilan rakyat. Tetapi dalam sistem UUD 1945, kedaulatan rakyat di bidang pembentukan UU itu disalurkan secara serentak ke Presiden dan DPR. Karena itu, produk UU dalam sistem Konstitusi RIS dan UUDS 1950 tidak dapat digolongkan sebagai produk eksekutif, sedangkan dalam sistem UUD 1945 sebelum diadakan amandemen pada tahun 1999, masih dapat digolongkan sebagai produk Presiden bersama-sama DPR.

Menurut sistem UUD 1945, lembaga kepresidenan itu terdiri atas Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu kesatuan jabatan yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu yang bersifat mengikat dalam hubungan hak dan kewajiban dalam masyarakat. Peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga Kepresidenan ini pada pokoknya dapat dibagi tiga, yaitu (I) peraturan yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan peraturan yang kedudukannya lebih tinggi seperti Peraturan Pemerintah dalam rangka melaksanakan Undang-Undang; (ii) peraturan yang ditetapkan secara mandiri dalam arti tidak untuk melaksanakan peraturan yang lebih tinggi, seperti misalnya Keputusan Presiden yang bersifat mandiri, bukan dalam rangka melaksanakan undang-undang. Biasanya, peraturan demikian ini ditetapkan dalam rangka penentuan ‘policy rules’ atau ‘beleidsregel’ yang perlu dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis[19]; (iii) putusan-putusan hukum yang bersifat ‘beschikking’ atau penetapan yang bersifat administratif, seperti pengangkatan ataupun pemberhentian pejabat[20].

b. Kantor Departemen Pemerintahan

Kantor Departemen dipimpin oleh Menteri dengan jabatan politis dan membawahi tugas-tugas publik dalam lingkungan departemen yang dipimpinnya. Menteri yang memimpin departemen ini harus dibedakan dari jabatan Menteri tanpa portfolio karena keberadaan jabatan Menteri tanpa portfolio dapat diubah secara dinamis oleh Presiden setiap waktu tergantung kebutuhan. Akan tetapi, kementerian yang memimpin departemen seyogyanya bersifat tetap, karena menyangkut struktur pemerintahan sampai ke daerah-daerah. Oleh karena sifat tugasnya yang langsung berhubungan dengan kepentingan publik, maka Menteri yang memimpin departemen itu diperbolehkan mengeluarkan produk-produk peraturan tersendiri yang dimaksudkan untuk melaksanakan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.

Dalam hubungan itu, selama ini, diberlakukan adanya Keputusan Menteri ataupun Peraturan Menteri yang berisi peraturan untuk kepentingan publik. Berkaitan dengan ini memang berkembang pemikiran untuk membedakan antara peraturan yang memuat norma aturan publik dengan penetapan yang bersifat administratif. Saya sendiri mengusulkan agar yang pertama disebut Peraturan Menteri, sedangkan yang kedua disebut Keputusan Menteri, agar tidak tumpang tindih seperti dalam praktek dewasa ini. Di samping itu, perlu dipertegas pula bahwa yang berwenang menetapkan peraturan untuk kepentingan publik hanya jabatan Menteri saja, bukan Direktur Jenderal ataupun Sekretaris Jenderal departemen yang merupakan jabatan-jabatan pegawai negeri biasa.

c. Kantor Kementerian Negara tanpa Portfolio

Selain pembatasan terhadap pejabat-pejabat administratif di atas, ada pula pendapat seperti yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Awaluddin Djamin untuk membatasi kewenangan mengeluarkan peraturan hanya pada Menteri yang memimpin departemen, dan tidak pada Menteri Negara tanpa portfolio[21]. Karena, Menteri tanpa portfolio itu tidak berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat luas. Kalaupun ia perlu mengeluarkan peraturan, maka peraturan tersebut harus ditetapkan oleh Menteri terkait yang memimpin departemen tertentu. Di samping itu, keberadaan kementerian tanpa portfolio itu sendiri bersifat sangat kondisional dan tergantung kepada politik pemerintahan yang ditetapkan oleh Presiden. Artinya, suatu kementerian negara dapat saja dibubarkan dan diadakan oleh Presiden tergantung perkembangan kebutuhan. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat Menteri jelas merupakan wewenang Presiden. Akan tetapi, pembentukan dan pembubaran departemen haruslah dibedakan dari pembentukan dan pembubaran kantor menteri negara yang lebih fleksibel sifatnya. Pembentukan, pembubaran ataupun perubahan suatu departemen menyangkut kepentingan yang luas, karena itu tidak boleh ditentukan hanya oleh Presiden. Menurut pendapat saya, berkenaan dengan eksistensi departemen pemerintah itu harus ditetapkan dengan undang-undang, bukan oleh Presiden sendiri sepertin yang terjadi dewasa ini.

d. Kantor Badan-Badan Pemerintahan non-Departemen.

Badan-badan pemerintahan non-departemen, sebagian dipimpin oleh pejabat setingkat Menteri ataupun dirangkap oleh seorang Menteri Negara seperti jabatan Kepala BPPT dirangkap oleh Menristek, Ketua Bappenas pernah dirangkap oleh Menko dan juga pernah dijabat oleh seorang Menteri, Badan Pertanahan Nasional pernah dipimpin oleh seorang Menteri Negara, dan seterusnya. Akan tetapi, lebih banyak lagi badan-badan pemerintahan non-departemen yang dipimpin oleh seorang Kepala yang berkedudukan sebagai seorang pejabat eselon 1.

Dalam hal demikian itu, pejabat pimpinan badan pemerintahan non-departemen ini tidak berwenang mengeluarkan peraturan untuk kepentingan publik. Akan tetapi, secara internal, banyak peraturan yang perlu dikeluarkan untuk mengalur organisasi yang dipimpinnya secara internal. Di pihak lain, dalam pelaksanaan tugas-tugasnya sehari-hari, organisasi badan dan para pejabat serta pegawai yang bekerja di dalamnya juga diikat oleh berbagai macam peraturan yang ditetapkan oleh institusi yang lebih tinggi. Karena itu, meskipun tidak mengeluarkan peraturan tersendiri, unit kerja hukum tetap diperlukan di lingkungan badan-badan pemerintahan non-departemen ini.

e. Pemerintah Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Kota.

Di daerah propinsi dan kabupaten ataupun kota, dapat dibentuk Peraturan Daerah atas kerjasama antara pihak eksekutif bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan yang dibuat bersama oleh Gubernur bersama DPRD Propinsi disebut Peraturan Daerah Propinsi yang bersangkutan. Peraturan yang dibuat bersama oleh Bupati atau Walikota bersama DPRD kabupaten atau kota yang bersangkutan disebut Peraturan Daerah kebupaten atau kota yang bersangkutan.

Untuk melaksanakan Peraturan Daerah tersebut, dapat ditetapkan peraturan pelaksanaannya oleh pihak eksekutif. Peraturan pelaksanaan Perda tingkat propinsi ditetapkan oleh Gubernur dalam bentuk Keputusan Gubernur, dan peraturan pelaksanaan Perda tingkat kabupaten atau kota ditetapkan oleh Bupati atau Walikota dalam bentuk Keputusan Bupati atau Walikota. Di masa depan, agar terdapat keseragaman, saya usulkan agar nomenklatur peraturan yang dikeluarkan Gubernur dan Bupati atau Walikota itu disebut saja dengan Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota. Di samping itu, nomenklatur resminya juga perlu dibedakan dari istilah Keputusan yang hanya dipakai untuk pengertian penetapan yang bersifat administratif biasa (beschikking) sebagaimana sudah diuraikan di atas. Dengan demikian, di tingkat daerah propinsi kita perlu membedakan antara Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur dan Keputusan Gubernur. Peraturan Desa adalah produk bersama antara lembaga legislatif dan eksekutif daerah propinsi, Peraturan Gubenur adalah produk peraturan yang ditetapkan Gubenur sebagai kepala eksekutif, sedangkan Keputusan Gubernur berisi penetapan-penetapan yang bersifat administratif. Demikian pula di tingkat kabupaten/kota, kita juga perlu membedakan antara Peraturan Daerah, Peraturan Bupati atau Peraturan Walikota, dan Keputusan Bupati atau Keputusan Walikota menurut kriteria pembedaan sebagaimana diuraikan di atas.

f. Pemerintah Desa.

Sejak zaman penjajahan, sistem pemerintahan desa di Indonesia yang selama berabad-abad tumbuh menurut sistem hukum adatnya sendiri dimana sebagian di antaranya dapat dihubungkan dengan praktek-praktek demokrasi menurut ukuran modern, dipaksa untuk berubah dengan menerapkan sistem-sistem yang diseragamkan oleh kekuasaan negara asing. Proses penyeragaman sistem aturan yang diberlakukan di desa-desa itu makin menjadi-jadi setelah Indonesia merdeka, dimana pemerintah pusat terus menerus mengeluarkan peraturan, kebijakan dan tindakan-tindakan yang menyamaratakan semua daerah ke dalam sistem hukum yang terpusat. Karena itu, setelah era reformasi dewasa ini, kebutuhan untuk menghidupkan kembali tradisi-tradisi hukum adat di desa-desa dan bahkan sistem demokrasi desa yang masih dapat diaktualisasikan menurut kepentingan zaman sekarang, mulai dapat dikembangkan lagi.

Karena itu, penataan kembali kehidupan demokrasi dan tradisi hukum di desa-desa, mutlak diperlukan. Pintu untuk itu telah terbuka, terutama dengan telah diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang baru. Dalam UU No.22 Tahun 1999 ini telah memperkenalkan adanya bentuk Peraturan Desa, yaitu peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Desa atas persetujuan badan perwakilan rakyat di tingkat desa. Untuk membedakannya dari peraturan yang dibuat sendiri oleh Kepala Desa tanpa keikutsertaan para wakil rakyat, maka dapat pula diperkenalkan bentuk lain, yaitu Peraturan Kepala Desa. Bahkan, konsisten dengan pemikiran di atas, Peraturan Kepala Desa itu juga perlu dibedakan dari Keputusan Kepala Desa yang hanya memuat penetapan yang bersifat administratif.

g. Administrasi Pelayanan Informasi:

Di samping kaitannya dengan produk peraturan perundang-undangan tersebut di atas, Pemerintah dapat berperan penting sebagai penghimpun informasi dan sekaligus sebagai pemberi jasa atau produsen jasa informasi hukum melalui sistem otomatisasi. Di Belanda, misalnya, sejak tahun 1975 telah dibentuk ‘Bestuurlijke Overleg Commissie’ yang dikenal dengan BOCO yang berarti Komisi Musyawarah Administrasi Pemerintahan. Komisi ini bertugas memberikan pertimbangan kepada organ-organ pemerintahan dalam sektor umum dengan tujuan mengkoordinasikan kegiatan otomatisasi dalam arti luas, yaitu untuk memajukan efisiensi penyediaan informasi di kalangan pemerintahan dan semi pemerintah[22].

Dalam laporan BOCO No.16 dapat dibaca mengenai rancangan penyediaan informasi individu yang berkaitan dengan pengaturan sistem informasi kependudukan yang mencakup kegiatan-kegiatan berikut. (a) kewajiban menyerahkan data oleh setiap warga negara dan setiap instansi pemerintah, (b) pengumpulan data oleh setiap pemerintah kota, © pengolahan data oleh pemerintah kota dan pusat data otomatis antar kota, (d) penyimpanan data oleh pemerintah kota dan oleh pusat data otomatis antar kota, (e) penggunaan data oleh kota, jawatan pengairan, propinsi, organ negara ataupun organ pelaksana, (f) pemberian data oleh pemeritan kota dan jika perlu oleh pusat data. Dan (g) pengelolaan sistem secara nasional oleh kementerian dalam negeri dan sejauh tidak diatur di tingkat yang lebih tinggi dapat juga dilakukan oleh pusat data otomatis ataupun oleh pemerintah kota[23].

3. Badan-Badan Peradilan:

a. Produk Peraturan Kekuasaan Kehakiman:

Pada pokoknya, kekuasaan kehakiman tidaklah membuat peraturan tersendiri. Kalaupun badan peradilan ini membuat peraturan, maka hal itu hanya berlaku secara internal di lingkungan badan-badan peradilan dan ditetapkan oleh Mahkamah Agung untuk mengatur kegiatan-kegiatan internal peradilan, seperti misalnya mengatur hakim dalam menjalankan tugasnya, dan lain sebagainya. Memang ada soal juga dengan bentuk Peraturan Mahkamah Agung yang juga mengatur pula, misalnya, mengenai ‘judicial review’. Sifat aturan ini sebenarnya hanya mengatur hakim, bukan mengatur publik atau masyarakat yang akan mengajukan gugatan kepada pengadilan. Akan tetapi, karena peraturan mengenai tata cara gugatan ‘judicial review’ tersebut belum ada, maka Mahkamah Agung mengambil inisiatif untuk mengaturnya dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung (Perma).[24] Selain Peraturan Mahkamah Agung, ada pula peraturan-peraturan yang dikeluarkan dalam bentuk Surat Edaran yang berisi norma-norma aturan yang menjadi petunjuk kerja bagi para hakim yang perlu diinventarisasikan ke dalam sistem elektronis.

b. Putusan-Putusan Peradilan:

Dalam sistem peradilan yang merdeka, putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam keseluruhan sistem hukum yang mendasarkan diri pada prinsip konstitusionalisme. Lebih-lebih dalam tradisi hukum ‘common law’ yang mengutamakan asas precedent, putusan hakim terdahulu selalu menjadi referensi bagi hakim terkemudian dalam memutuskan suatu perkara. Dalam tradisi ‘civil law’ yang sangat berakar di Indonesia, peranan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap juga, juga diakui sebagai salah sumber hukum yang penting.

Karena itu, data base tentang putusan-putusan hakim itu sangat penting. Makin lama makin banyak putusan yang dijatuhkan oleh hakim, dan jika pendataan mengenai hal itu tidak segera dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan menggunakan jasa komputer, kita tidak akan tahu hutan rimba putusan-putusan yang pernah dibuat oleh hakim-hakim di negara kita yang besar ini.

Lembaga kekuasaan kehakiman atau badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung secara bertingkat terdiri atas:

1) Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Negeri.

2) Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.

3) Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

4) Pengadilan Militer dan Mahkamah Tinggi Militer.

5) Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Di samping itu adalah pula beberapa bentuk pengadilan lainnya seperti Pengadilan Pailit, Pengadilan Pajak, dan Pengadilan Tilang yang masing-masing dapat mengembangkan sistem informasi dan administrasi putusannya, terutama data base tentang juridsprudensi putusan-putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Putusan-putusan lembaga atau badan-badan peradilan tersebut sudah tentu sangat banyak jumlahnya dewasa ini, dan perlu ditata pencatatannya.

Dalam sistem otomatisasi elektronik yang nantinya telah berkembang, dapat saja muncul kebutuhan bagi hakim untuk menggunakan komputer dalam menjatuhkan putusan pidana. Sistem inilah yang biasa dikenal di Belanda dengan istilah BOS (Beslissings Ondersteunde Systemen) atau ‘sistem pembantu pengambilan putusan’[25].

c. Data Base Sumber Daya Manusia:

Data base tentang hakim, panitera, tersangka, terdakwa, terpidana, penggugat dan tergugat, serta pengacara atau advokat yang mendampingi pihak-pihak yang terlibat perlu didata secara sistematis. Data sumber daya manusia ini, misalnya, dapat dikelompokkan menjadi:

1) Data hakim, jaksa, pengacara dan panitera pengadilan umum (tingkat pertama, kedua dan kasasi).

2) Data hakim, pengacara dan panitera pengadilan agama (tingkat pertama, kedua dan kasasi).

3) Data hakim, jaksa, pengacara dan panitera pengadilan militer (tingkat pertama, kedua, dan kasasi).

4) Data hakim, jaksa, pengacara dan panitera pengadilan tata usaha negara (tingkat pertama, kedua dan kasasi).

5) Data hakim, jaksa, pengacara dan panitera pengadilan hak asasi manusia.

6) Data hakim, jaksa, pengcara dan panitera pengadilan lain-lain seperti pengadilan tilang, pengadilan pajak, dan sebagainya.

7) Data penggugat dan tergugugat dalam persidangan di pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan tata usaha negeri serta pengadilan-pengadilan lainnya.

8) Data terdakwa dan terpidana dalam persidangan di pengadilan di pengadilan umum dan pengadilan militer.

9) Data tentang rumah tahanan dan lembaga pemasyaratakatan, termasuk data tentang sipir dan karyawannya, dan data tentang tahanan dan narapidana.

Pendataan demikian itu sangat penting dan dapat menunjang kebutuhan informasi mengenai sumber daya manusia ini, baik dalam rangka kegiatan penelitian maupun dalam rangka penyusunan program dan kebijakan di kemudian hari. Dari data sumber daya manusia ini pula nantinya kita akan dapat menentukan arah pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia di bidang hukum sebagai tumpuan utama bagi bekerja efektifnya sistem hukum nasional di masa mendatang.

4. Lembaga-Lembaga Lainnya

Lembaga-lembaga setingkat dengan pemerintah seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Pertimbangan Agung, juga harus diperlakukan serupa dengan lembaga-lembaga sejenis. Semua lembaga kenegaraan kita diikat oleh hukum dan pelaksanaan tugasnya identik dengan pelaksanaan sesuatu peraturan perundang-undangan. Demikian pula dengan lembaga-lembaga penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan diikat oleh hukum dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum dan tindakan-tindakan yang dilakukannya mempunyai implikasi hukum yang penting, dan karena itu perlu diadministrasikan secara efisien..

Kepolisian Republik Indonesia merupakan aparat yang berhubungan langsung dengan fungsi pengamanan dan pelayanan kepada masyarakat. Karena itu, catatan-catatan mengenai institusi, sumber daya manusia, fasilitas pendukung yang dimiliki, kinerja di lapangan, tindakan-tindakan administratif yang dilakukan, produk-produk perintah, dan tindakan hukum berupa penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan, data laporan dan pengaduan peristiwa pidana yang diterima dari masyarakat, data kasus peristiwa yang diselesaikan di lapangan, yang diteruskan ke proses penyidikan, yang diselesaikan sampai ke tingkat penuntutan (diserahkan ke kejaksaan), dan seterusnya, perlu mendapat perhatian dalam rangka jaringan sistem informasi hukum di masa yang akan datang. Data dan informasi yang perlu didokumentasikan secara elektronis meliputi tidak saja informasi peraturan dan mekanisme kerja, tetapi juga informasi mengenai institusi dan sumberdaya manusia yang dibutuhkan oleh tiap-tiap institusi dalam pelaksanaan tugasnya ataupun yang menjadi dasar bagi institusi-institusi itu untuk melaksanakan tugasnya sehari-hari.

Dengan demikian, informasi hukum yang perlu dikelola di masa sekarang di lingkungan organisasi kenegaraan dan pemerintahan, dan apalagi di lingkungan yang lebih luas, yaitu di dunia bisnis, begitu beragam, luas, rumit dan kompleks sifatnya. Karena itu, sistem informasi dan administrasi di lingkungan organisasi pemerintahan dan kenegaraan di masa mendatang haruslah mempertimbangkan sungguh-sungguh keperluan untuk memanfaatkan jasa teknologi informasi yang berkembang dewasa ini. Apalagi, di masa-masa mendatang, corak aktifitas di dunia kerja makin lama akan makin berkembang ke arah ‘paperless’, dan memaksa semua institusi kenegaraan dan pemerintahan terpaksa menggunakan jasa komputer, internet, dan perangkat elektronik lainnya. Hanya dengan memanfaatkan jasa teknologi informasi itulah, badan-badan pemerintahan dan kenegaraan dapat berkompetisi dan tidak tertinggal dalam persaingan menguasai informasi dengan kalangan dunia usaha dan lembaga swasta pada umumnya. Hanya dengan memanfaatkan jasa teknologi informasi semacam itu pulalah pemerintahan suatu negara dapat memimpin bangsa dan negara secara mandiri dalam berhadapan dengan bangsa dan negara lain di era kompetisi global yang makin ketat di masa-masa mendatang. Jangan sampai, karena kelalaian memanfaatkan jasa teknologi informasi yang cepat dan tepat, bangsa dan negara lainlah yang justru lebih menguasai informasi mengenai diri kita daripada bangsa sendiri.

Pada era informasi sekarang dan di masa datang, hanya bangsa dan negara yang menguasai informasi sajalah yang dapat memenangkan persaingan yang terus berkembang makin ketat. Karena itu, tepat jika dikatakan bahwa informasi adalah kekuatan, ‘information is power’. Siapa yang menguasainya akan berpeluang menguasai dunia. Sebaliknya, negara dan bangsa yang tidak menguasainya, akan tergantung kepada bangsa dan negara lain. Hubungan ketergantungan itu sendiri akan berkembang tak ubahnya bagaikan hubungan penjajahan seperti yang dialami oleh bangsa-bangsa Asia, Afrika dan Amerika pada abad-abad ke-15 sampai pertengahan abad ke-20[26].

PERGESERAN PARADIGMA HUKUM

Di masa yang akan datang, dunia hukum yang kompleks dan rumit akan menghadapi perubahan mendasar sebagai salah satu bentuk informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Seperti diungkapkan di atas, makin banyak aturan hukum yang dibuat dan dibutuhkan sebagai referensi, makin terasing pula hukum dari lingkungan masyarakat luas. Hukum makin lama bahkan akan terasing dari dunia bisnis dan bahkan dari para ahli hukum sendiri yang tidak mampu lagi mengikuti satu-per-satu perkembangan hukum dari hari ke hari. Oleh karena itu, hakikat hukum akan berubah sebagai informasi yang bernilai sangat ekonomis.

Hukum akan berubah menjadi sekadar informasi yang dapat dikuasai oleh siapa saja, termasuk oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum sama sekali. Dalam hubungan itu, maka secara perlahan-lahan dapat terjadi suatu pergeseran paradigma, baik dalam kaitannya dengan tugas-tugas pelayanan hukum maupun dalam kaitannya dengan hukum sebagai proses penemuan keadilan. Seperti yang digambarkan oleh Richard Susskind, pergeseran paradigma itu akan terjadi seperti dalam tabel berikut:

No.

TODAY’S LEGAL PARADIGM

TOMORROW’S LEGAL PARADIGM

Legal Service

Legal Service

01.

Advisory service

Information service

02.

One-to-one

One-to-many

03.

Reactive service

Proactive Service

04.

Time-based billing

Commodity pricing.

05.

Restrictive

Empowering

06.

Defensive

Pragmatic

07.

Legal focus

Business focus

Legal Process

Legal Process

01.

Legal problem solving

Legal risk management

02.

Dispute resolution

Dispute pre-emption.

03.

Publication of law

Promulgation of law.

04.

Dedicated legal profession

Legal specialists & Info-engineers.

04.

Print-based

IT-based legal systems

(Diolah dari Figure 8.1. “The Shift in Legal Paradigm”, karya Richard Susskind, 1996)[27]

Sebagai akibat terjadinya perubahan-perubahan mendasar yang diakibatkan oleh berkembang pesatnya pemanfaatan teknologi infomasi yang bersifat elektronis di semua lapangan pekerjaan, maka pelaksaan tugas-tugas yang berkaitan dengan hukum dan peraturan perundang-undangan juga mengalami perubahan mendasar. Konsep pelayanan hukum di masa depan akan mengalami pergeseran dari konsep kepenasehatan hukum menjadi konsep informasi hukum semata[28]. Semua orang bisa menguasai informasi hukum tanpa harus menjadi sarjana hukum terlebih dahulu. Bahkan seorang insinyur juga bisa menguasai informasi hukum yang berkembang sangat cepat.

Di samping itu, pelayanan hukum yang selama ini biasanya bersifat ‘one-to-one man approach’ juga akan berubah menjadi ‘one-to-many approach’. Satu orang yang menguasai informasi hukum melalui dukungan jaringan teknologi informasi dapat memberikan pelayanan informasi hukum sekaligus kepada banyak orang, sehingga sifat pelayanan berubah dari reaktif dalam rangka menjawab pertanyaan yang diajukan menjadi proaktif, tidak lagi tergantung kepada pertanyaan yang muncul ataupun persoalan yang dihadapi. Para ahli hukum yang menguasai informasi hukum dalam bidang tertentu dapat dimanfaatkan jasanya oleh banyak orang sekaligus melalui pemanfaatan jaringan teknologi informasi yang efektif, tidak saja untuk mereaksi persoalan-persoalan yang terbatas, tetapi juga untuk menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi dan semua keperluan.

Oleh karena itu pula, teknik pembayaran jasa konsultasi hukum yang sekarang bersifat ‘time-base billing’ akan berubah menjadi ‘commodity pricing’. Harga jasa konsultasi hukum dihitung bukan lagi per jam konsultasi seperti sekarang, tetapi per isu yang berhasil dipecahkan. Memang, gejala pembayaran jasa konsultasi hukum menurut hitungan jam itu sendiri masih merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. Sebagian terbesar pendapatan para pengacara kita dewasa ini belum lagi mengikuti jejak seperti yang terjadi di Amerika Serikat yang memungkan para pengacara profesional dihargai dengan hitungan jam atau bahkan menit. Akan tetapi, di masa yang akan datang, sifat hitungan balas jasa hukum itu sendiri akan mengalami perubahan, sehingga tidak dapat lagi mengandalkan hitungan jam atau menit tersebut. Di antara sebabnya ialah bahwa pelayanan hukum di masa depan tidak perlu lagi terjadi dalam hubungan konsultasi orang per orang. Setiap orang yang membutuhkan jasa informasi hukum tidak perlu lagi datang ke pengacara atau penasehat hukum, melainkan cukup datang ke komputer atau datang ke operator komputer untuk membuka web atau situs jasa informasi hukum yang diperlukan.

Di samping itu, pelayanan hukum yang sekarang bersifat ‘restriktif’ dalam arti membatasi layanan untuk kebutuhan yang terbatas bagi klien, juga akan mengalami perubahan. Di masa depan, pelayanan hukum itu akan berubah dari sifatnya yang cenderung ‘restriktif’ itu menjadi pelayanan yang memberdayakan klien (empowering). Dengan menggunakan jasa teknologi informasi yang dioperasikan secara benar, seseorang atau sekelompok orang atau bahkan banyak orang akan mendapatkan kesempatan memperluas pengetahuan dan penguasaannya akan informasi hukum yang dibutuhkan yang memungkinkannya atau mereka untuk mengatasi sendiri secara mandiri berbagai masalah hukum yang dihadapi.

Selain itu, orientasi pelayanan hukum sekarang dapat dikatakan bersifat mempertahankan dan melindungi diri (defensive). Tugas utama para pengacara adalah menjadi pelindung dalam upaya mempertahankan posisi hukum kliennya masing-masing. Dengan demikian, kedudukan jasa pelayanan hukum bersifat sangat defensif. Dalam perubahan di masa yang akan datang, tidak dapat dihindari bahwa orientasi kerja jasa hukum di masa datang akan berubah makin pragmatis. Kedudukan klien juga tidak terlalu banyak tergantung kepada peranan pengacaranya yang selama ini bertindak sebagai patron. Di samping itu, persoalan-persoalan yang timbul yang memerlukan pelayanan jasa hukum juga akan makin banyak terpusat pada soal-soal bisnis (business oriented), daripada hanya berkisar pada soal-soal yang bersifat sangat legalistik.

Dari segi prosesnya[29], pelayanan hukum juga tidak lagi berorientasi pada pemecahan masalah, melainkan lebih bersifat pengelolaan risiko. Risiko yang timbul karena terjadi permasalahan tidak lagi untuk dipecahkan, tetapi dikelola dengan sebaik-baiknya. Di masa depan, para pelayan hukum juga tidak lagi menyelesaikan sengketa, tetapi justru menanggulangi potensi persengketaan. Oleh karena itu, kalau sekarang kita memerlukan publikasi-publikasi hukum (publication of law) yang banyak dan luas dalam rangka pemasyarakatan hukum, di masa yang akan datang yang lebih dibutuhkan orang adalah ‘promulgation of law’, yaitu penyebarluasan informasi hukum. Yang dimaksud dengan promulgasi hukum itu adalah bahwa hukum secara fisik merupakan informasi yang perlu disebarluaskan sebanyak mungkin dan seluas mungkin, sedangkan dalam pengertian publikasi hukum, terkandung maksud yang lebih menekankan isi hukum itu yang perlu dimasyarakatkan kepada publik. Di masa depan, tujuan pemasyarakatan itu dapat dianggap tidak realistis lagi karena banyaknya peraturan yang perlu dimasyarakatkan dan luasnya jangkauan yang perlu mengetahui keberadaan peraturan tersebut. Oleh karena itu, yang lebih utama adalah penyebarluasan informasi hukum itu ke seluas mungkin sasaran dengan membuka akses yang terbuka bagi setiap orang untuk mengetahui adanya informasi hukum itu. Caranya ialah melalui ‘cyberspace’ yang didukung oleh teknologi informasi yang efektif untuk itu.

Sebagai akibat lebih lanjutnya, akan berkembang kebutuhan di masa mendatang bahwa para profesional hukum akan dihargai apabila mereka menjadi spesialis di bidang-bidang yang spesifik. Apabila pola profesionalisme hukum yang ada sekarang terus berkembang, para profesional itu akan berubah menjadi sangat generalis, seakan-seakan semua sarjana hukum memahami dan menguasai semua bidang hukum. Karena itu, para professional hukum kita itu di masa datang dituntut untuk berubah menjadi para ‘specialist’ yang menguasai informasi mengenai sesuatu bidang tertentu secara luas dan mendalam. Jika tidak demikian, maka para profesional hukum tidak akan dapat dibedakan dari orang yang tidak memiliki latar belakang hukum tetapi dengan mandiri atas bantuan teknologi informasi dapat menguasai informasi hukum secara luas, sehingga dapat menjadi generalis juga di bidang hukum.

Sementara itu, dokumen-dokumen hukum yang sekarang bersifat ‘print-based’ akan berubah pula menjadi ‘information technology based’. Orang tidak lagi memerlukan berjilid-jilid buku hukum. Sebagai gantinya, masyarakat luas akan memerlukan CD-rom dan komputer yang dapat mengakses sumber-sumber informasi hukum yang diperlukan melalui internet, dan sebagainya. Setiap pengusaha, perencana proyek, desainer usaha, ataupun para profesional hukum yang memerlukan informasi hukum tertentu dapat langsung mengakses sumber-sumber informasi yang tersedia melalui jaringan internet, dan atas dasar itu putusan-putusan dapat segera dibuat dan bahkan disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia secara simultan.

Oleh karena itu, penting sekali bagi kalangan ahli hukum dan praktisi hukum untuk membentuk suatu pusat informasi hukum yang dapat diandalkan. Memang sejak lama, kalangan ahli hukum dan para pejabat pemerintah mengimpikan dibentuknya ‘Law Center’ yang bersifat ‘integrated’. Kebutuhan akan ‘law center’ ini di masa yang akan datang mutlak sifatnya. Akan tetapi, cara kerja pusat informasi hukum itu sendiri tidak boleh konvensional. Jika cara kerjanya masih bersifat konvensional, maka sebaiknya ide semacam itu dibatalkan saja. Yang kita perlukan di masa mendatang itu adalah sebuah pusat informasi hukum yang terintegrasikan ke dalam jaringan sistem teknologi informasi mutakhir yang dapat diakses oleh siapa saja atau lembaga apa saja yang memerlukan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Pentingnya peranan pemerintah dalam hal ini karena infrastuktur yang perlu dibangun membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Akan tetapi, dalam cara kerjanya nanti, lembaga ini tidak boleh bersifat birokratis. Cara kerjanya harus dibangun secara profesional dan selanjutnya dikembangkan atas dukungan dinamika pelanggannya sendiri. Beberapa negara berkembang yang menyadari pentingnya pemanfaatan teknologi informasi ini, misalnya, Malaysia yang sejak 2 tahun lalu telah meluncurkan mega proyek yang diberikan nama Malaysia Super Corridor. Negara lain yang juga patut disebut adalah Uni Emirat Arab yang sejak akhir Oktober tahun 1999 yang lalu telah mencanangkan kota Dubai sebagai ibukota negara bagian Dubai menjadi Kota Internet. Baru-baru ini, Pemerintah Dubai yang dikenal memiliki sistem pelayanan publik yang sangat efisien, telah pula meluncurkan proyek revolusioner internet untuk mengubah sistem administrasi yang digunakan yang bertumpu pada kertas-kertas menjadi pemerintahan elektronik tanpa kertas. Seperti diberitakan oleh Harian Republika, (Jum’at, 7 April 2000, hal.13)[30] , Pemerintah Dubai mengingatkan bahwa para pegawai negeri akan kehilangan pekerjaan jika menolak menggunakan alat elektronik. Menteri Pertahanan Dubai, Mohammad bin Rashed al-Maktum, menegaskan bahwa program ini diluncurkan untuk memacu penggunaan internet secara penuh dan mengubah sistem administrasi publik menjadi pemerintahan elektronik yang mengurangi pengeluaran dan meringankan beban administrasi pemerintah. Penggunaan internet itu, menurutnya, dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan Dubai dari negara-negara barat. Karena itu, seluruh kementerian dan departemen pemerintahan Dubai harus bergerak untuk melepaskan diri dari kertas-kertas dan beralih ke peralatan elektronik

Untuk mengkoordinasikan segala upaya mengembangkan program internet dalam sistem administrasi pemerintahan seperti tersebut di atas, memang diperlukan suatu pusat informasi yang terpadu dengan dukungan investasi yang tidak sedikit. Karena itu, peran pemerintah sangat penting dalam hal ini. Namun demikian, pusat informasi seperti ini, dapat pula dikembangkan oleh kalangan masyarakat sendiri. Kalangan pengusaha swastapun dapat mengambil prakarsa untuk itu. Bahkan, para mahasiswa hukum dapat membentuk suatu pusat informasi hukum semacam itu dengan menggunakan jasa teknologi informasi yang dewasa ini sedang hangat dikembangkan. Namun, sekali lagi, seperti saya kemukakan di atas, agar pusat informasi ini benar-benar dapat tumbuh melembaga, gagasan semacam ini harus masuk ke dalam logika pasar ekonomi sehari-hari. Pusat informasi ini harus dibiayai oleh pasarnya sendiri yang dapat terdiri dari kalangan pengacara praktek, lembaga-lembaga ataupun berbagai ‘law-firm’ yang ada di seluruh Indonesia dewasa ini ataupun oleh masyarakat pencari keadilan dan masyarakat pengguna jasa teknologi informasi pada umumnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari apa yang diuraikan di atas, jelaslah bagi kita bahwa di masa depan kita akan menghadapi makin banyak tuntutan untuk mengkomputerisasikan sistem informasi dan administrasi semua organisasi kenegaraan dan pemerintahan. Tuntutan ini timbul karena adanya perubahan yang diakibatkan oleh berkembang-luasnya pemanfaatan jasa teknologi informasi yang bersifat elektronis. Dalam situasi demikian itu, pelayanan hukum dan proses bekerjanya sistem hukum akan mengalami perubahan mendasar. Karena itu, berkembang kebutuhan yang luas bagi kita semua untuk mempersiapkan institusi yang dapat menjadikan hukum sebagai produk informasi yang dapat diakses secara mudah melalui internet oleh semua orang yang membutuhkannya.

Aparatur pemerintahan dan kenegaraan di tingkat pusat maupun di daerah-daerah perlu segera mengantisipasi kebutuhan ini. Yang perlu mengadakan langkah-langkah persiapan untuk ini bukan saja pemerintah, tetapi juga lembaga perwakilan rakyat dan badan-badan peradilan serta lembaga tinggi negara lainnya seperti Dewan Pertimbangan Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan. Sekretariat Jenderal MPR-RI, Sekretariat Jenderal DPR-RI, Sekretariat DPRD propinsi, sekretariat DPRD kabupaten dan kotamadya, sekretariat negara, sekretariat daerah, dan bahkan sekretariat desa, perlu mengambil langkah-langkah antisipatif untuk memanfaatkan jasa teknologi informasi itu, khususnya dalam rangka dokumentasi dan penyebarluasan informasi hukum. Demikian juga lembaga-lembaga swasta dan kalangan perguruan tinggi dapat pula mengambil inisiatif untuk mengembangkan sistem informasi hukum yang berorientasi kepada pasar. Dengan demikian, jasa informasi hukum yang bersifat elektronis dapat dikembangkan dengan seksama dengan memanfaatkan jasa teknologi informasi yang tumbuh sangat cepat dalam masyarakat kita dewasa ini dan di masa-masa mendatang.

BACAAN UNTUK PENDALAMAN

Asshiddiqie, Jimly, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

----------------, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.

----------------, ‘Penataan Kembali Bentuk dan Susunan Tata Urut Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia’, Seminar Nasional Perubahan Kedua UUD 1945, Sekretariat Jenderal MPR-RI dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 24-26 Maret, Bandar Lampung, 2000.

Attamimi, Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia: Studi Analisis tentang Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I - Pelita IV, disertasi Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1991.

Bing, J., ‘Legal Text Retrieval and Information Services’, in Bing, J., and Torvund, O., (eds.), 25 Years Anniversary Anthology in Computers and Law, Oslo: Tano, 1995.

Bing, J., and Harvold, T., Legal Decisions and Information systems, Oslo: Universitets Forlaget, 1977.

Collins, H., ‘The Place of Computers in Legal Education’, Law Technology Journal, No. 3, October 1994, hal. 6.

Djamin, Awaloedin, Reformasi Aparatur/Administrasi Negara R.I. Pasca Pemilu 1999, Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, 1999.

Gough, Ian, The Political Economy of the Welfare State, London-Basingstoke, 1979.

Katsh, M.E., The Electronic Media and the Transformation of Law, Oxford: Oxford University Press, 1989.

---------------, Law in a Digital World, New York: Oxford University Press, 1995.

Leith, P., The Computerised Lawyer, London: Springer-Verlag, 1991.

Mital, V., and Johnson, L., Advanced Information Systems for lawyers, London: Chapman and Hall, 1992.

Naisbitt, John, and Aburdene, Particia, Megatrends 2000, London: Sigwick and Jackson, 1990.

Niblett, B. (ed.), Computer Science and Law, Cambridge: Cambridge University Press, 1980.

Purcell, T., North, R., Truda, P., Tomorrow’s Legal Services, Sydney: Law Foundation of New South Wales, 1994.

Republika, Harian Umum, edisi Jum’at, 7 April, 2000, hal.13.

Smith, Ian, Komputer: Suatu Tantangan Baru di Bidang Hukum (Pengantar), (judul asli: Het Recht Uitgedaagd door de Computer een Inleiding), Surabaya: Airlangga University Press, 1991.

Society for Computers and Law (SCL), The Future of Electronic Communications for the Legal Profession, Bristol: SCL, 1995.

Susskind, Richard E., The Future of Law: Facing Challenges of Information Technology, Oxford: Clarendon Press, 1996.

---------------, ‘Electronic Communication for Lawyers: Towards Reengineering the Legal Process’, Computer and Law Journal, No. 4, October-November 1993, hal. 4.

Terrett, A., ‘Hypertext - New Paradigm in Legal Education’ , in Bileta 9th Conference Pre-proceedings, The Changing Legal Information Environment, Warxick: Bileta, 1994.

Trapper, C.F.H., Computers and the Law, London: Weidenfeld and Nicolson, 1973.



[1] Program Pendidikan Lanjutan Hukum Teknologi Informasi dan Telekomunikasi, Lembaga Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin, 1 Mei 2000.

[2] Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

[3] Seperti dikatakan oleh Ian Gough, “The twentieth century, and in particular the period since the Second World War, can fairly be described as the era of the ‘welfare state’”, The Political Economy of the Welfare State, The Macmillan Press, London and Basingstoke, 1979, hal.1.

[4] Muhammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Prapantja, Jakarta, 1959.

[5] Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve, Jakarta, 1994, hal.221-233.

[6] John Naisbitt & Patricia Aburdene, Megatrends 2000, Sigwick and Jackson, london, 1990, hal.134-135.

[7] Richard Susskind, The Future of Law: the Challenges of Information Technology, Clarendon Press, Oxford, 1996.

[8] Tetapi kebiasaan pengangkatan hakim asing ini hanya berlaku dalam sistem anglo-saxon yang mengutamakan asas preseden, terutama di antara sesama negara anggota persemakmuran dengan Inggeris. Sudah tentu kebiasaan seperti ini tidak bisa diterapkan di Indonesia seperti yang dibayangkan oleh Presiden Gus Dur dengan ide nylenehnya untuk mengimpor hakim dari Belanda.

[9] Lihat Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru-van Hoeve, Jakarta, 1994, hal.221-233.

[10] “Alienation from citizens, alienation from business, alienation from lawyers, and alienation from society”. Richard Susskind, Ibid., hal.35-40. Menurut pendapatnya, “The pressures in the legal market-place combine with hyperregulation, lack of promulagation and the paradox of traditional legal service to result in a rather isolated legal system”.

[11] Sejak berlakunya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, istilah Daerah Tingkat I dan Tingkat II dihapus dan diganti dengan istilah daerah provinsi dan daerah kabupaten serta daerah kota.

[12] Seperti, misalnya, di Sumatera Barat dikenal dengan nama Nagari, di Sumatera Selatan dikenal dengan Marga dan lain-lain sebagainya.

[13] Dewan Rakyat atau Volksraad ini merupakan semacam lembaga perwakilan rakyat yang didirikan di Jakarta oleh Pemerintah Hindia Belanda (1918-1943) dengan susunan keanggotaan sebagian diangkat oleh Pemerintah Hindia Belanda dan sebagian lagi dipilih dari wakil-wakil rakyat.

[14] Lihat Pasal 3 juncto Pasal 37 UUD 1945.

[15] Istilah Peraturan Desa ini diatur dalam UU No.22/1999 yang memungkinkan desa ataupun persekutuan wilayah pedesaan yang disebut dengan nama lain mengembangkan sistem hukum adat mereka sendiri yang sejak lama terabaikan pengembangannya karena sistem yang sentralistis dan kebijakan penyeragaman dari pemerintah pusat.

[16] Dari segi pembentukannya, Ordonantie dapat dikatakan lebih tinggi daripada RV. Ordonantie setara dengan pengertian UU di zaman sekarang, sedangkan RV adalah Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang. Akan tetapi, dalam praktek, RV itu sederajat dengan Ordonantie, karena materinya langsung berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang (Wet) negeri Belanda.

[17] Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, 1998, hal.54-55.

[18] Keputusan-keputusan yang bersifat ‘beschikking’ ini perlu dibedakan dari keputusan-keputusan yang bersifat ‘regeling’ yang mengatur kepentingan umum, karena sesungguhnya yang benar hanya keputusan yang bersifat ‘regeling’ sajalah yang tepat untuk disebut sebagai per-ATUR-an dalam arti yang sebenarnya.

[19] Lihat Hamid S. Attamimi mengenai soal ini dalam disertasinya “Peranan Keputusan Presiden: Studi Analisis tentang Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Universitas Indonesia, 1991.

[20] Jimly Asshiddiqie, “Penataan Kembali Bentuk dan Susunan Tata Urut Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia”, Seminar Nasional Perubahan Kedua UUD 19945, diselenggarakan oleh Sekretariat Jenderal MPR-RI dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Bandar Lampung, 24-26 Maret, 2000.

[21] Awaloedin Djamin, Reformasi Aparatur/Administrasi Negara R.I. Pasca Pemilu 1999, Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta, 1999, hal. 71. Menurutnya, “Menko, Menteri Negara (yang tidak memimpin Departemen) dan Menmud, seyogyanya tidak mengeluarkan Peraturan Menteri yang mengnikat rakyat.” Alasan logisnya ialah bahwa hanya Menteri yang memimpin Departemen sajalah yang dapat diharapkan bertanggungjawab atas keberhasilan pelaksanaan Peraturan yang dikeluarkannya itu, karena adanya dukungan perangkat organisasi yang dipimpinnya.

[22] Jan Smith, Komputer: Suatu Tantangan Baru di Bidang Hukum (Pengantar), (judul asli: “Het Recht Uitgedaagd door de Computer een Inleiding”, Tjeenk Willink, 1985), Airlangga University Press, Surabaya, 1991, hal.90-91.

[23] Ibid.

[24] Sebagai contoh dapat dikemukakan disini mengenai Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1993 tentang Hak Uji Material sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1999.

[25] Ian Smith, Op.Cit., hal. 129.

[26] Gejala ini dapat kita sebut kolonialisme dan imperialisme informasi yang dampaknya akan jauh lebih berbahaya daripada jenis-jenis kolonialisme dan imperialisme yang pernah muncul dalam sejarah di masa-masa terdahulu.

[27] Richard Susskind, Op.Cit., hal. 286.

[28] J. Bing dan T. Harvold, Legal Decisions and Information Systems, Universitets-Forlaget, Oslo, 1977.

[29] Lihat juga Richard E. Susskind, ‘Electronic Communicatiion for Lawyers: Towards Reengineering the Legal Process’, dalam Jurnal Computer and Law, No.4, October-November 1993, hal.4.

[30] Lihat berita dengan judul “Dubai Luncurkan Mega Proyek Internet”, dalam rubrik Solidaritas, Harian Umum Republika, edisi Jum’at, 7 April 2000, hal.13.